KabareTegal.com – Teguh Karya adalah sang legenda. Namanya begitu melegenda dalam dunia perfilman Indonesia. Meski secara fisik ia sudah tidak ada lagi, tetapi ia selalu hidup melalui sosoknya yang sederhana namun sarat dengan karya. Ia dikenal sebagai orang yang penuh ide dan tidak pernah putus berkarya meski identitas etnisnya sering dipermasalahkan. Ia menjadi ikon teater dan film Indonesia. Lewat tangan dinginnya banyak drama yang disutradarainya dengan apik bersama Teater Populer, kemudian lahirlah film-filmnya yang sangat Indonesia dari segi tema dan detail secara artistik.
Teguh menggumuli dunia teater dan film dengan penuh kesadaran. Dunia yang semula berupa impian itu akhirnya benar-benar ia dengan memahami dulu medan yang akan dilaluinya. Ia sempat kuliah di teologi, lalu IPB, Asdrafi, ATNI, dan kemudian East West Center Honolulu, Hawai. Pendidikan akademik jelas memberi pencerahan bagi jiwanya yang dahaga akan media untuk berekspresi. Meski pada awal kariernya di dunia perfilman, sempat diwarnai kegalauan hati karena ia berasal dari peranakan Cina dengan nama Liem Tjoan Hok. Lalu ia berganti nama menjadi Steve Lim. Ketika Presiden Soekarno menyarankan agar semua warga keturunan memakai nama Indonesia, ia memakai nama Teguh Karya.
Mendirikan Teater Populer (1968) saat ia masih menjadi asisten manajer bagian kesenian dan budaya di Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Di HI, tugasnya menjaga gawang pintu gerbang kebudayaan Indonesia. Bung Karno ingin orang asing bisa langsung melihat berbagai unsure kebudayaan Indonesia dari pentas teater di hotel tersebut. Pelan-pelan Teguh menemukan sosoknya yang utuh sebagai seniman teater, lantas merambah ke dunia film – teramasuk film televisi. Total filmnya meraih 52 Piala Citra, rekor yang belum pernah dicapai sineas Indonesia mana pun. Tak hanya menorehkan karya, Teguh juga banyak melahirkan sejumlah tokoh perfilman Indonesia, seperti Christine Hakim, Roy Marten, Tuti Indra Malaon, Lenny Marlina, Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, dan Alex Komang.
Orang Banten, Orang Indonesia Tulen
Teguh Karya mengaku sebagai orang Banten. Ia lahir di Maja, sekitar enam kilometer dari Pandeglang, Jawa Barat, pada tanggal 22 September 1937. Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, setelah dibaptis menjadi Steve Liem. Sedangkan nama Teguh Karya pemberian dari Bung Karno ketika ia dipercaya menjabat manajer panggung di HI. Ia anak pertama dari lima bersaudara putra-putri keluarga Tedja Laksana Karya dan Naomi Yahya. Kakek moyang ayahnya berasal dari Yunan, Cina. Sementara ibunya dari Bekasi.
Bagi Teguh, Naomi Yahya, ibunya, punya arti begitu besar dalam hidupnya, karena banyak mengajarkan kedisiplinan. Ibunya punya jiwa “artistik”. Dari cerita tetangga, ia tahu, ibunya lumayan pandai menari Srimpi. Begitu juga saudara-saudara perempuannya. Sedangkan Tedja Laksana, ayahnya, pedagang kecil pemilik toko kelontong yang menjual beras, gula, minyak, cabe, bawang, dan keperluan sehari-hari lainnya. Namun demikian, orang tuanya cukup banyak mengasah pribadinya dengan berbagai pemahaman sederhana, yang tidak didapatkannya di tempat lain.
Kemudian, kakeknya adalah seorang moderat yang banyak bergfaul dengan kalangan pedagang dan kiai. Meski seorang protestan, kakeknyalah yang memperkenalkannya dengan pesantren, termasuk berziarah ke tempat “keramat”, seperti sumur tujuh, peninggalan Prabu Siliwangi di kaki Gunung Karang, Pandeglang. Di usia yang masih belia, ia cukup banyak mengenal, bahkan telah merasa memilki kebudayaan Banten. Maka, sejak kecil ia merasa sudah menjadi orang Indonesia tulen.
Memperdalam Ilmu Sampai ke Hawai
Teguh sempat bersekolah teologi, karena ingin memenuhi permintaan ibunya, namun ia tak betah. Gagal jadi pendeta, ia kuliah di Fakultas Pertanian Bogor, yang waktu itu masih berada di bawah naungan Universitas Indonesia, lalu pindah ke Fakultas Peternakan. Bosan lagi, ia ke Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) di Yogyakarta, sampai akhirnya terdampar di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Sekolah terakhir inilah yang memantapkan garis hidupnya sebagai seniman. Gurunya dalam teater di ATNI adalah Usmar Ismail yang kerjanya membuat film dan dijuluki sebagai Bapak Perfilman Indonesia.
Tapi, awalnya ia harus puas menjadi “mahasiswa pendengar” –bersama, antara lain, Soekarno M. Noer – gara-gara tak punya ijazah SMA. Akibatnya, sore hari ia kuliah di kampus ATNI di Salemba, paginya kerja di Pusat Film Negara, dan malamnya les privat SMA. Setelah itu barulah ia bisa diterima sebagai mahasiswa ATNI.
Aktingnya pertama kali pada kesempatan pertunjukan perdana ATNI dalam cerita “Tjakar Monjet” tahun 1957 karya WW Jacob serta disutradarai Usmar Ismail. Sementara karya perdana yang disutradarainya berupa drama yang berjudul “Taupan” karya Ju Sin Ming Hin. Awal prestasi yang membanggakan itu menjadikan ATNI memberikan beasiswa pada dirinya untuk memperdalam ilmunya di bidang Tata Artistik di East West Centre, Honolulu, Hawai.
Anugerah Keteguhannya Berkarya
Pulang ke Indonesia tahun 1968, Teguh Karya mendirikan Teater Populer yang didukung oleh Slamet Rahardjo, N. Riantiarno dan Tuti Indra Malaon dengan drama pertama yang mereka pentaskan di Hotel Indonesia berjudul “Wajah Seorang Lelaki”.
Teater Populer kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan untuk bidang penyutradaraan yang melahirkan sutradara-sutradara ternama seperti Slamet Raharjo. Ia dengan idealismenya yang tinggi senantiasa mewarnai gagasan ide serta misi dalam menciptakan karya fIlrnnya, dengan muatan nilai-nilai sosial-budaya yang tinggi. Berbagai penghargaan banyak yang ia terima dari fIlm-filmnya yang bermutu diantaranya Doea Tanda Mata, Kawin Lari, Wajah Seorang Lelaki, Perkawinan Semusim, Badai Pasti Berlalu, Pacar Ketinggalan Kereta.
Hampir semua film-film Teguh Karya, mulai dari Wajah Seorang Laki-laki (1971) sampai dengan karyanya yang terakhir Pacar Ketinggalan Kereta (1989) sukses meraih penghargaan di berbagai festival baik dalam mapun luar negeri. Oleh ke “teguh”annya dalam ber “karya”, pada 1991 ia dianugerahi hadiah Usmar Ismail oleh Dewan Film Nasional.
Diimbau Mundur dari FFI
Khawatir akan tidak munculnya para sineas muda, Teguh Karya oleh banyak kalangan diimbau mundur dari Festival Film Indonesia. Puncak dari himbauan itu ialah ketika film karya Teguh Karya Pacar Ketinggalan Kereta yang menyabet delapan Piala Citra dan Teguh Karya masih teguh sebagai sutradara terbaik. Apa jawab Teguh? “Memang sudah banyak pihak yang meyarankan saya mundur dari FFI, namun bagi saya pribadi hal itu tidak mungkin dilakukan. FFI itu panennya insan film. Saya harus dapat merasakannya dan saya juga diberi hak untuk memetik panen dari hasil kerja lain itu sendiri.”
FFI, bagi Teguh, lebih merupakan masa panen sebagaimana petani. Karena itu, ia kurang setuju ada istilah kalah dan menang. Kepada kaum muda, ia menyerukan agar mereka lebih giat lagi berkarya dan belajar, sehingga hasil panennya nanti mampu mengunggulinya. “Kasarnya, saya menantang mereka, “ ujar Teguh yang telah mendapat tujuh Piala Citra baik sebagai sutradara terbaik maupun penulis skenario terbaik.
Memang cukup alot untuk mengungguli Teguh Karya. Di mana ada Teguh Karya, di situ Piala Citra tersedot, begitu antara lain diungkapkan oleh salah seorang pengamat film.
Film-filmnya Membicarakan Perempuan
Mengenai pilihan hidup untuk tetap melajang, Teguh menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap orang, Ia mengaku pernah beberapa kali berpacaran sewaktu duduk di bangku SMA, tetapi sang pacar selalu tidak tahan dengan kesibukan-kesibukannya saat itu seperti menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan kesenian lainnya.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan bahwa itu bagian kesalahan terbesar yang ia lakukan, bagian yang sangat terlalaikan dalam kehidupannya. Tapi bukan berarti ia tidak menghargai atau meng-empu-kan perempuan. Bagi Teguh, perempuan memang harus di-empu-kan. Karena kita punya ibu pertiwi, bukan bapak pertiwi. Kita punya hari ibu, bukan hari bapak. Itu artinya semua laki-laki di negeri ini patut meng-empu-kan perempuan. Itu bukan saja bagian dari budaya kita, melainkan secara kemanusiaan perlu kita memberikan kepatutannya. Dari pemikiran itulah banyak muncul film-filmnya yang bicara masalah perempuan dengan segala permasalahannya.
Teguh Karya yang sepanjang hayat memilih hidup melajang menghembuskan nafas terakhirnya di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian memorinya.
Tempat Peristirahatan Terakhir
Seperti tahu ajalnya sudah dekat, pada 1997, ketika masih dalam keadaan segar bugar, belum terkena stroke, Teguh Karya membuat sebuah lubang di samping kanan rumahnya yang juga sebagai sanggar Teater Populer. Siapa sangka kalau lubang sedalam satu setengah meter dan lebar 80 cm itu akan digunakan untuk tempat peristirahatannya terakhir, yiatu tempat menyimpan abu jenasah Teguh Karya bila meninggal nanti.
Teguh berpesan kepada Slamet Rahardjo saat itu, seandainya dirinya sudah tidak ada, jenasah dikremasi, kemudian abunya dimasukkan ke dalam guci yang sudah dipersiapkan oleh Teguh sendiri. Teguh juga meminta kepada Slamet agar nantinya yang memasukkan guci itu ke dalam lubang adalah Slamet. Sekaligus menuliskan “Di Sini Beristirahat Teguh Karya” pada sebuah batu granit berwarna hitam. Sesuai pesannya kepada Slamet, abunya ditanam di samping rumahnya.
Kini tempat peristirahatan terakhirnya itu diberi tempat peneduh dengan beratap genteng. Di dalamnya digantungkan kentongan dan lampu yang selalu menyala. Kemudian, batu ganit berwarna hitam ditulisi TEGUH KARYA (22 September 1934 – 11 Desember 2011) “KREATIVITAS TIDAK BOLEH MATI” TEATER POPULER. Tulisan prasasti ini untuk mengingatkan pesan Teguh Karya kepada Slamet agar kreativitas seni dan budaya, khususnya perfilman, tidak boleh mati. Teater Populer harus selalu menjadi tempat berkreasi.
(Akhmad Sekhu/ dari berbagai sumber)