Dunia kepenulisan melahirkan penulis berbakat Sasti Gotama. Latar belakang pendidikan dan profesi kedokteran justru membuatnya dapat mengolah cerita dan konflik dengan baik. Awalnya ia menulis hanya sebagai sarana terapi, karena 2018 lalu dirinya sempat sakit dan membaik setelah ia sering menulis. Ia kini semakin eksis di dunia kepenulisan. Beberapa karyanya dimuat di media cetak maupun daring, bahkan memenangkan berbagai lomba kepenulisan.
“Pertama kali saya coba menulis April 2018 di salah satu grup FB, walaupun masih kacau tanda baca dan struktur kalimat. Baru awal 2019 belajar ke salah satu mentor dan memberanikan diri mengirim ke media, “ kata Sasti Gotama memaparkan awal terjun ke dunia kepenulisan kepada wartawan, Senin (5/10/2020).
Penulis kelahiran Malang, Jawa Tiimur, itu menerangkan perihal ide dalam penulisannya. “Dari sumber bacaan dan fenomena sekitar. Untuk bacaan, ada yang dari buku penulis lain, ada pula yang dari media lain. Misalnya cerpen yang di Tempo itu, asal idenya saat membaca di Quora, ada penulis yang menceritakan tentang kelakuan ART-nya yang meminjam baju tanpa izin lalu mengembalikan ke lemari diam-diam. Bahan itu saya kembangkan dengan memasukkan kritik sosial dari fenomena di sekitar saya, “ terang jeebolan kedokteran Universitas Brawijaya.
Dalam cerpen itu, lanjut Sasti, dirinya menyisipkan fenomena yang ia temui di wilayah kerja saya dulu, yaitu kondisi sosial ekonomi keluarga yang memiliki balita gizi buruk. “Orang tua si balita berasal dari keluarga tidak mampu dan memiliki banyak anak, tetapi menolak KB. Juga adanya fenomena nikah muda pada anak-anak yang masih usia belia di wilayah tersebut, “ ungkapnya mantap.
Sasti mengaku dirinya sudah resign sebagai dokter umum per Agustus kemarin dan fokus mengurus pendidikan anak-anak, yang sejak pandemi, harus belajar di rumah. “Saat ini, saya sedang fokus mengerjakan penerjemahan buku. Untuk menulis, biasanya malam, “ bebernya.
Menurut Sasti, pengalaman yang paling berkesan dalam proses kreatif menulis. Ia pernah merombak total satu cerpen karena adanya masukan dari guru menulisnya yang mengatakan bahwa tulisannya seperti pamflet, dan ia menyadari perkataan sang guru benar adanya. “Walaupun tulisam itu sudah masuk meja editor, saya minta izin kepada editor tersebut untuk merombak total cerpen itu. Cerpen itu berjudul “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam” yang sebentar lagi meluncur dari Diva Press. Mungkin cerpen itu adalah satu-satunya cerpen saya yang melewati editing hingga puluhan kali hingga akhirnya dirombak total, “ tegasnya.
Sasti menyampaikan, latar belakang kedokteran masih mempengaruhi dalam proses kreatif menulisnya. Hal-hal tertentu masih ia gunakan, terutama sebagai subteks, misalnya ilmu yang ia pelajari di bidang psikiatri tentang mekanisme pertahanan ego. “Pada cerpen di Tempo, saya gunakan mekanisme pertahanan ego “denial” sebagai subteks. Sedangkan pada cerpen di Kompas, saya alegorikan tiga unsur kepribadian Freud dalam tokoh-tokoh cerita tersebut, “ urainya.
Obsesi dan harapan Sasti dalam dunia kepenulisan. Sebetulnya, awalnya ia menulis hanya sebagai sarana terapi, karena 2018 lalu dirinya sempat sakit dan membaik setelah ia sering menulis. “Saya tidak pernah menyangka bisa sampai di titik ini. Harapan saya, semoga saya bisa berkembang terus menerus, “ pungkas Sasti sumringah.