Bagi kalangan seniman dan budayawan nusantara, tentu tak asing dengan seniman kondang asal Kota Tegal berkebangsaan Semarang (pinjam istilahnya Lutfi AN) bernama Eko Tunas.
Mengingatnya, terlintas wajah serius Lelaki yang suka ceplas ceplos namun ramah dengan ratusan karya seni yang sudah diproduksinya menjadi buku, mulai Cerpen, Essai, Puisi, Naskah Drama.
Kepiawaian Eko Tunas dalam meramu fantasy yang di kolaborasi kan dengan pengalaman sosial merupakan keunikan tersendiri. Hal itu dapat dinikmati saat menonton pentas drama maupun monolog yang dilakoninya.
Setelah sekian lama terjeda oleh masa pandemi corona, kini Eko Tunas kembali bangkit dengan karya seni yang spektakuler. Bukan lagi karya cerpen atau puisi, juga bukan drama atau monolog, Eko bangkit dengan puluhan karya lukisnya.
Ya, Eko Tunas kini melukis. Kemampuannya menggoreskan kuas di atas kanvas tak diragukan lagi. Eko Tunas benar- benar maestro seni yang multitalenta.
Salah seorang sahabat karib Eko Tunas, yang sama-sama berkutat di jagat seni, Lutfi AN, berseloroh, kalau saja di Prancis lahir Jean Cocteau, di Jerman ada Luiz Ludwig Heinrich Mann atawa di Indonesia muncul Remy Sylado, tetap saja Eko Tunas adalah jenis manusia yang sangat langka.
Bayangkan saja, sebagai aktor, novelis, sutradara dan pelukis tentu sebuah anugerah tak ternilai. Tak berlebihan jika Eko Tunas, asal Tegal berkebangsaan Semarang ini memiliki kemampuan multi talenta di atas rata-rata seniman.
Lutfi mengatakan, setelah sekian novel dan kumpulan cerpen serta puisinya dibukukan dan menemui kejumudan, kini Eko Tunas memulai lagi berkarya pada kanvas. Melukis dan melukis lagi sejak Covid-19 menyergap seantero jagad. Eko justru lebih produktif, nyaris tiap hari asyik-masyuk mengekspresikan buah pikir rasanya dengan cat dan kanvas.
Menurut Lutfi, coretan lukisan Eko tak jauh dari gaya pelukis Amerika Jean Michel Basquiat, yaitu pelukis grafiti yang menggila di New York, di masanya Amerika (1985) di dinding-dinding kota dipenuhi dengan coretan tangan Basquiat, seorang psikopat antirasial.
” Karyanya selalu membawa missi pemberontakan terhadap sistem negara rasis, ” papar Lutfi.
Lebih jauh Lutfi mengatakan, menikmati lukisan Eko Tunas seperti disuguhuhkan tema baru dan rasa sama persis Basquiat. Pemberontakan terhadap nilai-nilai keindahan umum nampak mendapatkan apresiasi pelukisnya. Berpatron pada kemerdekaan estetika menjadi kelebihannya.
Salah satunya adalah coretan tentang wanita cantik yang tidak lagi dipersepsikan sebagai tubuh langsing, tinggi semampai berbetis mungil dan berwajah imut. Penilaian itu hasil penindasan rezim panitia May Day Amerika.
” Eko justru melukis seorang wanita tinggi besar dengan bibir ndobleh dan bertato kerokan khas wong Jawa. Eko ingin menyampaikan pesan melalui lukisannya bahwa anggapan wanita itu lemah sangat keliru. Bagi Eko, wanita adalah makhluk terkuat, itu diekspresikannya dalam salah satu lukisan wanita kekar dipenuhi senjata dengan gayung sumur menampakkan wajah bayi tengah menangis: kata Eko suatu hari, Ramboo sesungguhnya adalah wanita, ” tegas Lutfi.
Lutfi menambahkan, lukisan Eko Tunas bisa dikatagorikan menjungkirbalikkan logika, atau sebaliknya, ‘meluruskan’ logika.
“Lantas apa yang membedakan Basquiat dan Eko? Hanya satu: Basquiat sudah almarhum, sedangkan Eko Tunas masih berkarya. Butuh kecerdasan abstraksi, ilmu dan rasa untuk dapat menikmati lukisan Eko Tunas, ” tandas Lutfi. ( Riyanto Jayeng)