Menuju PPN XIII: Riri Satria: Puisi Masa Depan Tak Hanya Teks, Melainkan Multimedia

KABARETEGAL, JAKARTA — Menjelang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII pada 11–14 September 2025, panitia menggelar pra-acara “Menuju PPN XIII: Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara & Pentas Puisi” di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu (6/9).

Forum ini mempertemukan penyair lintas generasi sekaligus peneliti sastra untuk mengupas arah perkembangan puisi, salah satunya melalui refleksi Riri Satria.

Seorang engeener dan matematikawan yang juga menaruh cinta mendalam pada puisi, Riri Satria mengangkat pertanyaan mendasar: apakah puisi masih penting di masa depan? Jawabannya, menurut dia, justru semakin relevan.

“Matematika, algoritma, dan puisi punya kesamaan: sama-sama merepresentasikan fenomena yang kompleks dengan simbol-simbol sederhana,” ujarnya.

Riri menegaskan bahwa puisi tidak akan mati, melainkan akan berevolusi mengikuti perkembangan zaman.

Ia menyoroti keterlibatan kecerdasan buatan (AI) dalam menciptakan karya sastra, fenomena yang ia sebut sebagai meta estetika—keindahan yang lahir dari mesin tetapi tetap diarahkan oleh manusia.

Puisi masa depan, kata Riri, tidak lagi hanya berbentuk teks, melainkan akan hadir dalam wujud multimedia: video, musik interaktif, hingga karya visual digital.

Lebih jauh, internet memungkinkan terbentuknya tradisi balas-berbalas puisi global dan jaringan sastra internasional.

Ia juga menyinggung aspek hak cipta digital melalui teknologi NFT dan blockchain, yang dapat menjamin keaslian puisi di dunia maya.

“Semakin tinggi teknologi, semakin dibutuhkan sentuhan kemanusiaan. Puisi adalah ruang refleksi, empati, dan makna—itulah mengapa ia tetap penting di masa depan,” ungkapnya.

Riri menekankan pentingnya melibatkan Generasi Z agar akrab dengan puisi yang bertransformasi mengikuti zaman. Menurutnya, generasi digital ini bisa menemukan ruang pemaknaan baru lewat puisi tanpa kehilangan akar sejarah.

“Puisi adalah simbol kehidupan. Sama seperti algoritma, ia menyederhanakan kompleksitas dengan cara yang indah. Pertanyaannya bukan lagi apakah puisi masih penting, tetapi bagaimana kita memastikan ia tetap relevan,” katanya.

Diskusi publik di PDS HB Jassin menjadi pembuka menuju PPN XIII (11–14 September 2025). Festival ini dirancang inklusif dengan seminar,  panggung anak muda, serta pembacaan puisi lintas negara yang menyoroti tema perdamaian, diaspora, dan kolaborasi Asia Tenggara.

Riri Satria sendiri dijadwalkan menyampaikan kuliah umum di Perpustakaan Nasional pada 13 September 2025, menyoroti bagaimana puisi dapat menyikapi tantangan era digital dan kecerdasan buatan.***

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan, ini lahir 27 Mei 1971 di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, Jawa Tengah. Tinggal di Jakarta, bekerja sebagai wartawan. Puisi-puisinya masuk sekitar 80 buku antologi komunal (1994-2025). Buku antologi puisi tunggalnya; Penyeberangan ke Masa Depan (Yayasan Sastra Gading, 1997), Cakrawala Menjelang (Yayasan Aksara Indonesia, 2000), Memo Kemanusiaan (Balai Pustaka, 2022). Novelnya: Jejak Gelisah (2005) diterbitkan Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo, Gramedia Group), Chemistry (Bubble Books, 2018), Pocinta (Prabu21, 2021). Catatan tentang kesastrawanannya masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2001), Buku Pintar Sastra Indonesia (2001), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Gerbong Sastrawan Tegal (2010), Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), dan lain-lain. Karya-karyanya sudah banyak dijadikan bahan penelitian dan skripsi tingkat sarjana. Memenangkan Lomba Cipta Puisi Perguruan Tinggi se-Yogyakarta (1999) dan Pemenang Favorit Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana "100 Tahun Chairil Anwar" (2022).

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *