Kenangan bagaimana pun kelamnya tentu masih menyisakan keindahan. Masa lalu yang pilu tak selalu menghadirkan kegetiran melulu. Ada sedih, ada gembira. Kadang susah, tapi kadang juga ada senangnya. Ada hitam, ada juga putih. Bahwasannya dalam hidup dunia ini fitrahnya, pada hakekatnya, memang selalu berpasang-pasangan.
Buku ‘Romantisme Tahun Kekerasan’ karya Martin Aleida ini mengingatkan kita pada tragedi paling kelam di negeri ini, dimana Martin, sang penulis, tak hanya sebagai saksi, bahkan jadi korban atas tragedi yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September 1965. . Dari penulis muda asal Tanjung Balai, mahasiswa Akademi Sastra Multatuli, bekerja di Jakarta sebagai wartawan istana untuk Harian Rakjat pada zaman Soekarno. Karena Gerakan 30 September 1965, ia kehilangan pekerjaan, disekap oleh tentara yang menjalankan Operasi Kalong dalam sebuah kamp konsentrasi di Jakarta. Martin dipenjara tanpa pengadilan.
Setelah bebas, ia berusaha semangat untuk bangkit dengan identitas baru. Ia jadi pedagang kaki lima, kemudian membuka kios pakaian sambil menulis cerita pendek. Kembali menekuni bidang kewartawanan, ia bergabung dengan majalah Ekspres, kemudian beralih ke majalah Tempo. Ia melanglang buana, memperdalam bahasa Inggris di Georgetown University. Cerita-cerita pendeknya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat pembaca.
Sebuah buku yang menguak kenangan kelam penuh kebersahajaan yang dilalui Martin begitu penuh liku, kiri-kanan banyak jurang, tapi jerih payah, semangat yang tetap terjaga, membuahkan hasil manis, ia terpilih sebagai penulis cerita pendek terbaik dan penghargaan kesetiaan berkarya dari Kompas 2016 dan 2013. Juga anugerah seni departemen pendidikan dan kebudayaan 2014.
Memang kalau kita renungkan lebih dalam, tak ada orang di dunia ini yang selamanya susah terus, karena tentu suatu waktu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mereguk kebahagiaan. Sesederhana atau sekecil apapun kebahagiaan kalau benar-benar kita rasakan tentu akan membuahkan kenangan yang tiada tara indahnya.
Martin Aleida adalah penutur ulung. Di tangannya segala peristiwa sesusah apapun akan terasa begitu indahnya. Angan-angan kita diterbangkan tinggi melayang, tapi sekaligus kita disadarkan untuk tetap berpijak di bumi. Karena kenyataan sepahit apapun harus kita hadapi. Kita seperti didongengi. Kita seperti di Negeri Antah Berantah, tapi terasa sangat nyata karena begitu mendetail alur penceritaannya. Semua peristiwa diceritakan dengan gamblang, seperti tanpa tedeng aling-aling. Itulah keunggulannya gaya penulisan Martin yang menguak kenangan kelam penuh kebersahajaan.
Sepanjang tulisan dalam buku yang terbagi dalam enam bagian ini, kita diberi penuturan cerita dengan pikiran jernih. Ada cerita penuh gejolak tapi tak meledak-ledak memberontak. Ada cerita cinta yang begitu romantis, tapi tak membuat kita lebay termehek-mehek, melainkan realistis. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi tonggak yang tak terlupakan. Kita memang jangan melupakan sejarah. Karena kenangan bagaimana pun kelamnya tentu masih tetap menyisakan keindahan. Manusia yang tetap menjadi manusia, hakekat sejatinya manusia, dan memanusiakan sesama manusia. Itulah kebersahajaan.
Judul Buku : Romantisme Tahun Kekerasan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Somalaing Art Studio, Jakarta
Cetakan : Maret 2020
Tebal : 271 halaman