Sosok Inspiratif Panda Nababan, Sang Wartawan Petarung dalam Pusaran Kekuasaan

KabareTegal – Apa yang terlintas di benak kita saat mendengar nama Panda Nababan?

Seorang wartawan yang kemudian menjadi politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Dia pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Umum Warta Harian (1969-1970), Redaktur Harian Umum Sinar Harapan, (1970-1987), Wakil Pemimpin Umum Harian Umum Prioritas (1987-1988) dan Kepala Litbang Media Indonesia (1988-1989).

Salah satu puncak prestasinya sebagai wartawan ialah ketika ia memperoleh penghargaan jurnalistik Hadiah Adinegoro pada 1976.

Pada 1993, ia mulai aktif dalam dunia politik ketika ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Ketika pada 1998 PDI dilanda kemelut kepemimpinan, ia memilih bergabung dengan PDI-P hingga sekarang, dan menjadi anggota DPR Republik Indonesia dari Fraksi PDI-P.

Baru-baru ini, ia menerbitkan buku otografinya berjudul “Panda Nababan; Lahir sebagai Petarung, sebuah otobiografi’.

Buku setebal 1050 halaman (terdiri atas dua buku) yang diterbitkan oleh PT Mahkamah Keadilan Indonesia dan dicetak di Gramedia ini termasuk ‘laris manis” dan best seller (penjualan terbaik) yang diminati kalangan wartawan, mahasiswa dan pustakawan.

Dalam buku pertama ‘Menunggang Gelombang’ yang terdiri atas 18 Bab, ia menbeberkan ihwal naluri survive yang telah ditempa selama puluhan tahun di Siborong-borong, Sumatera, yang ternyata melahirkan nilai tambah bagi dirinya.

“Dalam melakukan kerja jurnalistik, saya kerap melakukan apa yang dianggap berbahaya bagi orang lain tapi saya sendiri memandangnya tak berbahaya untuk mendapatkan serta menyajikan informasi yang lebih lengkap dan lebih dalam lagi kepada pembaca,” tulis Panda Nababan di buku ini.

Panda muda kala itu berpikir tulisannya menyangkut kepentingan rakyat banyak, bangsa dan negara pun telah menjadi bagian dari kehidupan dirinya.

Harga dari keingintahuan itu ternyata mahal juga.

“Ini benar-benar bekal yang sangat berharga yang membuat hasil liputan saya mendapat apresiasi dari banyak kalangan,” ungkap Panda mantap.

Maklum, saat itu di masa rezim Soeharto banyak informasi yang tak dapat disiarkan dan diberitakan.

Informasi itu puluhan tahun mengendap dalam arsip dokumentasi pribadinya.

Buku pertama otobiografi ini lebih menekankan pada perjalanan Panda sejak kecil sampai menjadi wartawan.

Dalam bab 14, misalnya, Panda secara rinci dan elok mengisahkan wawancara dengan Pramudya Ananta Toer (pengarang, aktivis Lekra/PKI) di Pulau Buru dan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling, gembong Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda yang bertanggung jawab atas pembantaian 40 ribu warga Makassar  pada tahun 1946.

Ada perkataan Westerling bahwa dia tidak setuju dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang identik dengan Soekarno.

Karena dalam pandangan Westerling, bentuk negara Federasi Pasundan dan Negara Indonesia Timur yang ia dukung gagal berdiri karena tindakan Soekarno dengan konsep NKRI.

“Saya benci Soekarno karena dia orang Jawa. Saya hampir membunuh Soekarno tapi tidak jadi, karena nanti dia menjadi martir,” beber Westerling kepada Panda.

Dalam buku yang pertama ini, banyak hal dan peristiwa menarik yang ditulisnya, misalnya ketika menjadi aktivis mahasiswa, berteman dengan seniman-seniman besar, di antarnya,  Rendra, N Riantiarno, Iwan Fals, dan lain-lain.

Ia ditempa dan menempa diri di harian Sinar Harapan, yang melindungi nara sumber harga mati, berkisar di antara jaksa-jaksa agung, para jenderal belajar politik, naluri dan nurani seorang wartawan.

Dapat kita simak tulisan yang mengupas tentang M Jusuf yang memecat para jenderal.

Kemudian, rimba raya rezim politik Soeharto, tiga perbedaan Soeharto dengan HB IX, dan membidani Prioritas, Media Indonesia dan Forum Keadilan.

Pada buku bagian kedua ‘Dalam Pusaran Kekuasaan’ diungkapkan lebih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang menarik yang belum pernah diceritakan (untold story).

Berbagai peristiwa menarik, di antaranya metamorfosis dari wartawan menjadi politisi (bab 19).

Panda blak-blakan mengupas ihwal kedekatannya dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, Ketua PDI Perjuangan.

Lebih jauh, Panda juga mendedah pengalamannya selama berkiprah di parlemen, memimpin kasus Trisakti dan Provinsi Babel, bersahabat dengan Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Panjaitan.

Ulasan-ulasan lainnya, antara lain, mempersiapkan tiga calon kapolri, melawan peradilan sesat, siap mati minum Baygon demi terpilihnya Jokowi, tentang Megawati, Gus Dur dan TK dan bab terakhir (28) berjudul Kembali menjadi Wartawan.

Setelah bebas dari penjara (Panda dua kali di penjara), karena menjadi korban peradilan sesat, Panda kembali lebih beraktifitas di Sumatera Utara dan terpilih sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan untuk ketiga kalinya, sampai tahun 2015.

Kebetulan, kawan-kawan lamanya mengajak Panda terlibat dalam pengelolaan majalah Forum Keadilan.

Hal ini memicu kembali memorinya sebagai wartawan.

Ria Purba, isterinya yang menyemangati Panda agar dirinya kembali jadi wartawan.

“Ria, saya sudah menjadi wartawan lagi, sesuai kesenangan dan kebanggaanmu. Dan, saya juga merasa berbahagia,” tulis Panda di bab terakhir (bab 28).

Kini, Panda telah berusia 78 tahun.

Semangatnya sebagai seorang wartawan petarung masih tetap menggegak menyala-nyala.

Sebuah buku otobiografi yang sangat berharga dan bernilai bagi dunia literasi Indonesia.***

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000). Sedangkan, novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :