Apito Lahire, Sosok Inspiratif Juri Lomba Kicaumania dan Seniman Andal dari Tegal

Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi lingkungannya. Tak sedikit di kehidupan ini orang yang benar-benar mewujudkan hal demikian menjadi fakta nan nyata, tetapi banyak juga manusia yang masa bodoh terhadap nasehat orang bijak tersebut. Baginya yang penting urusannya sendiri harus di kedepankan, perkara orang lain bukanlah menjadi urusannya.

 

Cerita hari ini adalah soal bagaimana seseorang yang berilmu di bidangnya tetapi ia tidak mendikotomi ilmunya itu untuk dirinya, melainkan ia amalkan kepada orang lain secara baik dan nyaris sempurna. Bagi sosok lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini bahwa kelahirannya ke dunia semata-mata untuk menjadi suluh penerang bagi orang lain, ia berikan kepedulian yang lebih kepada orang lain. Kebahagiaannya nyaris ia abaikan, ia dedikasikan seluruh kemampuannya untuk menyentuh kaidah ilmu itu sendiri sebagai suatu wujud rohmatan lil’alamin.

 

Ia bagaikan katak yang mampu berdaya hidup di dua ekosistem yang berbeda. Hebatnya lagi ia mampu mewujudkan dua bidang keilmuannya itu kepada lingkungannya secara baik, hingga memberi warna-warni nan elegan di dunia kesenian dan dunia burung berkicau. Ia selalu menjadi sosok inspiratif bagi orang lain.

 

Bidang Teater

Yah, sosok itu adalah Apito Lahire. Pria yang lahir di Jatinegara, Tegal pada 9 Desember 1974 itu benar-benar pribadi yang kokoh dan kuat dalam menghayati dan memaknai hidup lewat Kesenian dan Burung Berkicau. Baginya kesenian dan burung berkicau adalah rahmat dan anugerah Tuhan yang dititipkan kepadanya sebagai sarana mengais keridhloanNya, sebagai jembatan menuju jalan kembali. Sehingga dirinya harus benar-benar taat pada takdirnya itu dan menjadikan ilmunya itu sumber kebaikan kepada orang lain.

Banyak orang-orang yang telah berhasil ia “gembleng”  menjadi berdaya di dunia kesenian maupun dunia burung berkicau.  Di bidang Teater misalnya Nana Riski Susanti menjadi sosok berprestasi dan terkenal semenjak anak-anak hingga dewasa karena Puisi. Pola dan gaya baca puisinya menjadi rujukan orang lain bahkan kemudian sukses bekerja di pertelevisian. Tresno Aji sewaktu masih pelajar di SMK Wahid Hasyim Talang menjadi Monolog Terbaik pada Festival Monolog Pelajar se Jawa Tengah. Yaskur Parondina, Ruroh, Faiz dan Faozan Gemblong menjadi matang di bidang Akting hingga mampu membentuk Grup Teater Gemblong yang mencorong. Abu Makmur pria leha-lehe yang kemudian menjelma Penyair terdepan di Brebes dan menjadi ASN (PNS). Apas Khafasi menjadi sosok yang kini disejahterakan berkat kepintarannya bermonolog.  Mereka semua bisa berdaya berkat tangan dingin Apito Lahire melalui Komunitas Seniman Tegal (Teater Pawon) yang ia dirikan bersama Moch. Miroj Adhika dan Julis Nur Hussein tahun 1987.

 

“Bagiku. Apa yang Tuhan berikan adalah amanah yang wajib diamalkan kepada orang lain agar ada kesinambungan demi derajat dan martabat ilmu itu sendiri.  Karena aku sendiri juga bagian (hasil)  kesinambungan dari sosok seniman terdahulu seperti  Umbu Landu Paranggi, Rofie Dimyati, Nurngudiono (alm), Yono Daryono, Mameth Suwargo, Eko Tunas, (Alm) Nurhidayat Pos, meski saya tidak berguru secara langsung, tapi menyerap idealisme dan keilmuan mereka lewat karya-karya beliau”, tutur Apito Lahire jujur dan apa adanya.

Deretan prestasi pernah diraihnya beberapa diantaranya;

  1. Sutradara Terbaik Festival Drama Pelajar Se Jawa Tengah UPGRIS Semarang 2002,
  2. Aktor Terbaik Festival Monolog Putu Wijaya STSI Bandung 2003, Juara 1 Lomba Penulisan  Naskah Lakon Se Jawa Tengah UNNES Semarang 2006, 
  3. Aktor Terbaik Festival Monolog Ruang Publik Federasi Teater Indonesia Jakarta 2009. 
  4. Tampil dalam Pesta Monolog Para Aktor Bicara Dewan Kesenian Jakarta di TIM 2009. 
  5. Menerima Anugerah Pakerti Seni Bidang Teater Dewan Kesenian Jawa Tengah 2006. 
  6. Pentas Monolog 12 Jam judul Manusia Biasa (10 naskah karyanya) di Balai Kota Lama Tegal  ( 2005).  
  7. Pentas Happening Art judul Keasksian Dara Perempuanku (jalan kaki dari Monumen GBN Slawi sampai Halaman Balaikota Lama Tegal) 1998

 

Hobi Burung Berkicau

Selain sebagai Seniman Teater,  Apito juga menekuni hobi di bidang Burung Kicauan. Dia memiliki banyak burung seperti Kacer, Crokcokan, Prenjak, dan Love Bird belakangan kemudian ia sebagai Juri Burung Berkicau berkat bimbingan Sugihartoni alias Tony Auw seorang Penyair asal Balapulang dan pendiri Kokaba BC. Takdir sebagai Juri Burung Berkicau ia jalani sama baiknya dengan bidang Teater.  Beberapa gantangan (tempat lomba burung berkicau) seperti Yudhistira BC, Karpel BC, Jaratan BC, Kespas BC, Pangeran 27 BC, dan Dewata BC adalah hasil “babad alas”nya. Sebagai Juri Burung Berkicau, Apito menjadi inspirasi Kicau Mania yang kemudian  mengikuti jejaknya sebagai Juri Konglomerasi Independen.

Bahkan ketika juara di Festival Monolog Ruang Publik Federasi Teater Indonesia uang hadiahnya ia pakai untuk mendirikan gantangan Ajib Ah BC di depan rumah milik orang tuanya Desa Pesayangan Talang Tegal yang belakangan hari gantangan itu dikenal dengan  Kaligung BC Feat Ronggolawe.

 

“Dunia teater dan dunia burung berkicau sejatinya dua bidang yang berbeda tetapi memiliki kaidah yang sama yakni pada tataran estetika dan juga etika. Burung yang ngoceh dengan variasi lagu tak beda dengan ketika saya bermonolog atau membaca puisi. Ada kesubliman rasa dan maknawi, di situlah etika seorang pelakon terbangun. Kan kaya kuwe?,” jelas sosok cerdas suami dari Nurhayati itu.

Dunia pendidikan pernah juga ia masuki sebagai Guru di SMK Diponegoro Lebaksiu dan SMK/SMU Wahid Hasyim Talang (Tegal), namun profesi ini kemudian ia tinggalkan karena nalurinya berontak (tidak kerasan) hingga akhirnya ia memilih sebagai pekerja seni Membina Teater di berbagai Sekolah dan Kampus. Pemateri Teater dan juga sebagai Juri Festifal dan Lomba Drama dan Monolog di berbagai kota di Jawa dan Jakarta. Disamping sebagai Juri Independen pada even lomba burung di Tegal, Brebes, dan Pemalang.

 

“Menjadi guru swasta sangat mengenaskan nasibnya. Kesejahteraan kurang diperhatikan, padahal yang dibimbing adalah anak-anak yang inputnya rendah. Betapa beratnya mendidik mereka itu pengalamanku dulu, mudah-mudahan sekarang nasib guru swasta sudah lebih baik,” pungkas Apito Lahire sambil menyunggingkan senyum sumringah. (Julis Nur Hussein).

 

Reporter: Julis Nur Hussein

Editor: Akhmad Sekhu

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000). Sedangkan, novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :