Selama ini persepsi masyarakat kita cenderung memandang bahwa anak muda Indonesia selalu kebarat-baratan. Semua produk, terutama film Hollywood dengan sinematigrafi canggih yang lebih digemari dibanding film anak negeri. Namun, fakta menarik dari sebuah hasil survey, bahwa ternyata 67 persen anak muda Indonesia menonton film nasional. Fakta tersebut tentu menerbitkan optimisme para insan perfilman Indonesia yang semakin semangat memproduksi filmnya.
Demikian yang mengemuka dari acara Diskusi “Film bertema : Kaum Muda Indonesia dan Perilaku Menonton Film” yang digelar Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) pada awal tahun 2020. APFI memandang perlu melakukan diskusi dengan memaparkan survei hasil Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) guna memberikan arahan kepada para sineas dan pelaku industri perfilman tanah air dalam memproduksi dan memasarkan film mereka. Hal ini terkait pula dengan sikap optimis para produser film dalam menyikapi perkembangan industri film global.
“Industri film sedang berada di puncak kejayaan, dengan box-office global mencapai rekor tertinggi pada 2019 sebesar 42,5 miliar dolar AS. Pendapatan box office dunia di luar AS mencapai 31,1 miliar dolar AS, yang juga adalah rekor tertinggi sepanjang masa. AS sendiri telah melebihi batas 11 miliar dolar selama 5 tahun berturut-turut. Semua indikator tampak sangat baik dan jelas bahwa dunia kreatif -lah yang jadi pendorongnya. Mari kita fokuskan keseluruhan energi ke bidang kreatif, untuk memacu ekonomi bagi semua pihak” tutur HB Naveen selaku Ketua Bidang Promosi dan Peredaran APFI, di Ballroom Djakarta Theater, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Menyambung pernyataan tersebut Chand Parwez, selaku Ketua Umum APFI menyatakan bahwa “Perfilman Indonesia sejak 2016 menunjukkan pertumbuhan yang membahagiakan, kami di APFI berkomitmen untuk menghadirkan karya-karya yang diminati penonton film di bioskop. Berinvestasi dengan terus menghadirkan variasi genre, dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di bidang usaha khususnya eksibitor, bidang kreatif, komunitas dan pendidikan. Kerja sama ini mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan peluang, agar market share film Indonesia semakin tinggi”.
Mayoritas kaum muda di kota-kota besar Indonesia menyatakan menonton film nasional di bioskop. Survei di 16 kota besar yang diselenggarakan (SMRC) pada Desember 2019 itu menunjukkan 67 persen kaum muda berusia 15-38 tahun menyatakan menonton setidaknya satu film nasional di bioskop dalam setahun terakhir. Sementara 40 persen menyatakan menonton setidaknya tiga film nasional selama setahun terakhir.
“Temuan ini menjawab keraguan tentang kecintaan anak muda Indonesia pada film nasional,” ujar Direktur Komunikasi SMRC, Ade Armando, pada peluncuran hasil riset di Jakarta (16 Januari 2020) yang diselenggarakan SMRC bersama Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (AFPI), Badan Perfilman Indonesia (BPI), dan Cinema XXI.
Kecenderungan menyukai film nasional ini semakin menguat di kalangan kelompok usia paling muda, 15-22 tahun. 81 persen dari kelompok usia tersebut menyatakan menonton setidaknya satu film nasional; sementara 51 persen menyaksikan setidaknya tiga film nasional di bioskop selama setahun terakhir.
Sejalan dengan meningkatnya usia, perilaku menonton film nasional ke bioskop ini menurun. Di kelompok usia 23-30 tahun, persentase mereka yang menonton film nasional menurun menjadi 64 persen dan pada kelompok usia 31-38 menurun menjadi 49 persen.
Survei ini melibatkan 1.000 responden. Survei difokuskan pada hanya kalangan muda di kota-kota besar karena survei nasional SMRC sebelumnya memang menunjukkan mayoritas penonton film di bioskop-bioskop di Indonesia adalah kalangan muda. Kota-kota besar dipilih karena persebaran gedung bioskop di Indonesia masih terpusat di kota-kota besar.
Temuan survei ini juga menunjukkan kaum muda Indonesia ini tidak menganggap film nasional lebih rendah daripada film asing. Persentase anak muda yang menonton film nasional (67 persen) lebih tinggi dari kaum muda yang menyatakan menonton film asing (55 persen).
Begitu juga, sementara 40 persen menyatakan menonton film nasional setidaknya tiga kali di bioskop, hanya 32 persen yang menonton film asing di bioskop setidaknya tiga kali.
Di kelompok usia paling muda kecenderungan serupa terlihat. Sementara ada 81 persen kelompok usia 15-22 yang menyatakan menonton setidaknya satu film nasional di bioskop; hanya 64 persen kelompok usia 15-22 yang menyaksikan setidaknya satu film asing di bioskop.
Menurut Ade, kecenderungan ini menunjukkan bahwa meski harus menghadapi gempuran film-film asing, industri film nasional ternyata dapat menjawab kebutuhan penonton film Indonesia.
Genre film nasional yang paling disukai anak muda Indonesia adalah komedi (70,6 persen), diikuti dengan horor (66,2 persen), percintaan (45,6 persen) dan laga (37,4 persen). Sedangkan genre film asing yang disukai adalah laga (68 persen), diikuti dengan horor (65 persen), komedi (46,8 persen), percintaan (34,6 persen), misteri (21,8 persen).
Menurut Ade, kecenderungan ini mungkin menunjukkan bahwa keunggulan film-film asing di mata kaum muda adalah keunggulan teknologi. “Saya rasa yang tidak bisa ditampilkan oleh sineas Indonesia adalah keunggulan teknologi yang disajikan film-film Blockbuster Hollywood, dan ini yang membuat para penonton Indonesia berduyun menyaksikan film laga seperti Avengers,” ujar Ade.
Penelitian ini juga mempelajari apa yang menyebabkan ada kaum muda yang sama sekali tidak menonton film nasional di bioskop. Jawaban yang diberikan adalah: tiket terlalu mahal (39,7 persen), tidak suka menonton film (35,2 persen), lokasi gedung bioskop terlalu jauh (25,2 persen), dan film Indonesia tidak menarik atau tidak bermutu (27,4 persen).
“Jadi terlihat, hanya sekitar 28 persen anak muda yang masih menganggap film Indonesia tidak berkualitas,” ujar Ade. “Sebagian besar lainnya tidak menonton karena alasan ekonomi dan lokasi, atau karena memang tidak suka menonton film.”
Namun Ade mengingatkan bahwa hasil penelitian ini hanya terfokus pada perilaku menonton kaum muda di kota-kota besar. Bila perhatian dialihkan pada masyarakat semua golongan umur di seluruh Indonesia, gambarannya tidak terlalu menggembirakan.
Pada awal september 2019 SMRC melakukan penelitian di 44 kota di seluruh Indonesia dengan melibatkan 1200 responden. Range usia responden adalah 17 tahun atau lebih.
Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hanya 9,3 persen yang menyatakan menonton film nasional di bioskop setidaknya satu kali dalam setahun terakhir; dan hanya 8,2 persen yang menyatakan menonton film asing di bioskop setidaknya satu kali dalam setahun terakhir.
Namun penelitian berskala nasional itu juga menunjukkan usia berpengaruh terhadap perilaku menonton film. Survei tersebut menunjukkan 36,4 persen mereka yang berusia di bawah 21 tahun menonton film nasional, sementara di kelompok usia 22-25 tahun (20 persen), 26-40 (10 persen), 41-55 (6,4 persen), dan di atas 55 (2,8 persen).
Menonton film juga terlihat sebagai kegiatan kaum elit. Sementara 25,2 persen warga berpendidikan perguruan tinggi menonton film nasional, hanya 2,7 persen warga berpendidikan sekolah dasar yang menyaksikan film nasional.
Menurut Ade, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap perkembangan film nasional. “Film nasional adalah sektor strategis baik secara kebudayaan maupun secara ekonomi dan politik,” pungkasnya.