Tegal Penyangga Ibu Kota

Oleh Sumarno*)

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota negara. Di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai lokasi baru ibukota Negara Indonesia.

 

Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim, didasarkan pada kajian mendalam. Predikat sebagai megapolitan, provinsi, kota bisnis, dan ibu kota negara beban Jakarta sudah terlalu berat. Kemacetan dan banjir penyakit lama yang telah akut, ditambah akhir-akhir ini polusi udara kian parah. Belum lagi penyakit sosial lain dan keamanan.

 

Dengan sebagala persoalannya tentu tak bisa berdiri sendiri. Jakarta ditopang oleh daerah di sekitarnya atau biasa disebut daerah penyangga. Bogor, Depok, Tagerang, dan Bekasi, (Bodetabek). Persoalan transportasi, lingkungan, dan permukiman adalah hal yang mendapat sokongan daerah penyangga.

 

Penyangga bidang pangan

 

Tapi orang lupa, bahwa penyangga Jakarta bukan hanya Bodetabek. Walau secara geografis jauh dari Jakarta, Tegal tak bisa dipandang sebelah mata sebagai penyangga Jakarta. Penyangga berarti alat untuk menyangga, sandaran, penopang sesuatu agar tetap berdiri, eksis.

 

Penduduk Jakarta mencapai 10, 37 juta jiwa pada thun 2017 dengan berbagai latar belakang dan status sosial. Tak sedikit keperluan makan, terutama kelas menengah ke bawah, dengan membeli di warteg. Sedikitnya sekitar 28 ribu warteg bertebaran di seantero Jakarta (Detik.com: 4/3/2017). Warteg-warteg itu terselip diatara gedung-gedung  perkantoran, kampus, pabrik, dan di permukiman penduduk.

 

Secara ekonomis, komoditas utama usaha warteg adalah makanan pokok, nasi dan segala menu lauk-pauknya. Dalam pandangan Abraham Maslow (1908-1970), pangan, sandang, dan papan, tergolong kebutuhan fisiologik atau kebutuhan dasar, kebutuhan yang harus dipenuhi. Manakala pangan tak dipenuhi berakibat fatal, karena sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu.

 

Maka, Tegal sebagai daerah asal pengusaha warung tegal (warteg). Memiliki peranan penting dalam distribusi pangan di Jakarta. Sebagai penyedia makanan pokok (penjual nasi beserta lauk pauk khas rumahan) turut menyangga kelangsungan denyut kehidupan (masyarakat) Jakarta. Tentu jika dirunut sampai ke hulu, makanan pokok nasi berasal dari padi. Karawang, Subang, dan Indramayu yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi.

 

Jika ibu kota pindah

Ibu kota negara pindah, selanjutnya Jakarta tetap difungsikan sebagai kota bisnis dan keuangan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memperkiarakan pemindahan ibu kota akan dikuti lebih dari 800 ribu Aparatur Sipil Negara (ASN). Belum lagi kelompok masyarakat lainnya, misal kelompok usaha yang terkait langsung dengan pemerintah.

 

Pemindahan ibu kota negara dan pendukungnya akan mengurangi hiruk-pikuk Jakarta dengan segala problematikanya. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap keberadaan usaha warteg di Jakarta. Karena memang selama ini antara warteg dan Jakarta terjadi simbiosis mutualisma.

 

Namun, masyrakat Tegal di samping dikenal ulet usaha kuliner juga berjiwa perantau. Tak tertutup kemungkinan pindahnya ibu kota negara ke Kaltim akan diikuti sebagian warga Tegal untuk usaha warteg, sate, martabak, dan jenis kuliner lainnya di sana. Bahkan, ketika pembangunan ibu kota masih dalam proses sudah ada orang Tegal buka warung untuk menopang para pekerja bangunan.

 

Maka, jika dipandang secara komprehensif, Tegal penyangga ibu kota sejati. Dimanapun lokasi ibu kota negara ini, Tegal tetap menopang, disamping Karawang, Subang, Indramayu, dan tentu daerah lain di seuruh Indonesia. Tegal dengan potensi komunitas wartegnya pun jangan hanya dijadikan alat pencitraan elite politik ketika menjelang Pemilu atau Pilkada.[*]

 

 

*) Pemerhati sosial budaya

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000). Sedangkan, novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :