Sjuman Djaya, Sang Flamboyan

Syuman Djaya pantas menyandang julukan sebagai sang flamboyan. Penampilannya dengan bertopi gaya koboi dan sigaret pipa di tangan, ia tampak necis dan romantis sekali. Ia dikenal jago berkelahi, mengobrol, dan pacaran. Cita-citanya ingin menjadi penerbang. Tetapi, bakat membawanya jadi pemain sandiwara, penulis cerita pendek dan puisi. Kemudian, ia menjadi pemain film, penulis skenario, hingga akhirnya jadi sutradara yang kemudian namanya tercatat dengan tinta emas sejarah perfilman Indonesia sebagai salah satu sutradara Indonesia legendaris.

Sekitar 16 karya film lahir selama 14 tahun karier perfilmannya. Tetapi dengan sejumlah itulah ia hampir selalu meraih Piala Citra pada setiap kehadirannya di Festival Film Indonesia (FFI). Bahkan ia sempat mendapat predikat sebagai sutradara langganan Piala Citra.

Lelaki kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 5 Agustus 1934, ini merupakan sutradara Indonesia yang tidak dapat ‘didikte’ oleh produser film. Sutradara paling lantang meneriakkan kepincangan sosial dan paling jelas omongannya lewat film. Sebagian besar filmnya memang lekat dengan kritik sosial sejak dari film pertamanya Lewat Tengah Malam (1971), hingga film terakhirnya yang tak rampung dibuatnya; Opera Jakarta (1985). Ia selalu menggambarkan orang-orang kecil, tapi di kepalanya bertengger gagasan-gagasan besar.

Semua filmnya  banyak meraih kesuksesan, baik secara kulaitas maupun komersial. Seperti film Kabut Sutra Ungu yang mampu meraih empat Piala Citra di FFI 1980 dan juga mampu meraup rekor penonton terbanyak dalam sejarah film Indonesia dalam satu masa putar di banyak bioskop Jakarta (data Perfin 488.865 orang).

Si Majoy Anak Betawi

Si Manjoy, demikian panggilan akrab Sjuman, memang lahir dari keluarga Jawa. Ayahnya bernama Hardjawasita dan ibunya Surti Hardjawasita. Tapi ia lebih merasa sebagai Anak Betawi. Karena ia dibesarkan di Kota Megapolitan ini sehingga ia pun medok sekali logat Ke-Betawi-annya. Tempat tinggalnya di Kemayoran yang waktu itu terkenal sebagai pusat bermukimnya orang-orang Betawi yang paling religius.

Hardjawasita, ayahnya, juru gambar di zaman Belanda, didorong sikap politik yang nonkoperasi, terpanggil ikut mendirikan Taman Siswa. Di perguruan inilah, di Kemayoran, Jakarta, ia menghabiskan seluruh masa pendidikan dasar dan menengahnya.

Pengalaman masa kecil Sjuman di Kemayoran sangat berkesan dalam kehidupannya. Pengalaman-pengalaman masa lalu itu kelak sering muncul di berbagai filmnya, seperti mandi di kali, berlarian di tegalan, bercanda di pengajian, dan lain-lain. Semua itu merupakan rekaman antropologik yang indah sekali.

Anggota Seniman Senen

Setamat SMA, Sjuman yang awalnya bercita-cita ingin menjadi seorang penerbang, mulai berkecimpung sebagai pemain sandiwara, penulis puisi, cerita pendek, hingga kritik sastra. Ia juga iseng-iseng tampil sebagai figuran di berbagai film, seperti di antaranya Garis-garis Cakrawala, Ombaknya Laut Mabuknya Cinta, Si Bongkok, Anjing-anjing Geladak, Perawan Buta, Lewat Tengah Malam, Jang  Djatih di Kaki Lelaki, dan Hati Selembut Salju.

Untuk menyalurkan bakat seninya, ia pernah bergabung menjadi anggota komunitas “Seniman Senen”. Sebutan untuk para seniman (pengarang, pelukis, orang film dan teater, dll) yang sering berkumpul di Jalan Kramat Bunder, Daerah Senen, Jakarta (sekarang kira-kira antara Proyek Pasar Senen dan Bioskop Grand) pada tahun 40-an dan 50-an. Sjuman sering berkumpul dengan mereka seperti di antaranya Misbach Jusa Biran, Chairil Anwar, Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Ajip Rosidi, SM Ardan, Achdiat K. Mihardja, Nashar, Iwan Simatupang, dan lain-lain.

Perjalanan  hidupnya mulai berubah di tahun 1956 tatkala salah satu cerpen karyanya yang berjudul Keroncong Kemayoran diangkat ke dalam film layar lebar oleh PT Persari dengan judul Saodah. Pria yang akrab disapa rekan-rekannya dengan panggilan Bung Syuman ini, kemudian mulai serius dengan profesinya sebagai penulis dengan bekerja di studio tersebut, persisnya di bagian penulisan yang dipimpin sutradara ternama, Asrul Sani. Kemudian, ia menjadi asisten sutradara untuk film Anakku Sajang (1957).

Belajar ke Moskow, Mendapat Jodoh

Setahun kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah dan Parfi untuk belajar film di All Union State Institute of Cinematography, Moskow, Uni Soviet, dan lulus dengan karya akhir pelajaran “Bajangan“, yang diangkat dari karya novelis Amerika Erskine Caldwell. Sjuman lulus dengan nilai “sangat memuaskan”, merupakan orang ke-7 dan satu-satunya orang bukan Rusia yang lulus dengan nilai setinggi itu sejak Akademi tersebut didirikan tahun 1919.

Ketika belajar di Moskow, ia mendapat jodoh, Farida Oetojo, yang waktu itu sedang belajar di sana. Perempuan yang lebih dikenal sebagai maestro balet Indonesia, tapi pernah juga merambah blantika film dengan membintangi beberapa film antara lain film Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1969), Perawan di Sektor Selatan (1971), Dendam Si Anak Haram (1972), Lingkaran Setan (1972), Bumi Makin Panas (1973). Farida mau mampir di dunia film atas ajakannya.

Balik ke Indonesia Menjadi Birokrat

Balik ke Indonesia tahun 1965. Sjuman tak langsung mengaplikasikan ilmu sinematografi yang telah dipelajarinya selama hampir tujuh tahun itu. Ia terlebih dahulu bergelut sebagai birokrat dengan jabatan Direktur Direktorat Film di Departemen Penerangan sejak tahun 1966 hingga tahun 1968. Hal itu menunjukkan kalau ia tidak hanya mampu sebagai sineas, tapi juga mampu mengelola administrasi dan melahirkan gagasan-gagasan yang membangun dan menguntungkan dunia film.

Di masa kepemimpinannya, Direktorat Film cukup banyak melahirkan tindakan yang penting bagi pengembangan perfilman. Antara lain diadakannya seminar penyiapan UU Perfilman (UU itu sendiri baru lahir tahun 1992), Dewan Produksi Film Nasional di tahun 1968 yang membuat film percontihan guna mengubah orientasi para pembuat di lapangan, yang waktu itu sedang dilanda film kodian dan “kotor”, dan melahirkan SK. Menpen No. 71/1967 tentang pengumpulan dana lewat film import yang uangnya digunakan untuk meningkatkan produksi dan rehabilitasi perfilman nasional.

Ia pun menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1973) di samping menjadi Ketua Akademi Sinematografi LPKJ yang dijabatnya sampai tahun 1973. Kemudian, menjadi anggota Badan Sensor Film, dan anggota Staf Ahli pada Dirjen Radio, Televisi & Film. Tahun 1973 ia mendirikan PT Matari Films dengan produksi perdananya “Si Doel Anak Betawi” yang mengorbitkan pemain cilik Rano Karno, setelah sebelumnya membuat film Flamboyan (1972).

Lepas Jabatan Banyak Berkarya

Lepas dari jabatan tersebut, Sjuman aktif dalam pembuatan film. Dia banyak menulis skenario dan kadang-kadang juga ikut main. Skenario Pengantin Remadja (1971) yang ditulisnya mendapatkan penghargaan dalam Festival Film Asia (FFA) 1971, sedangkan karya penyutradaraannya pertama “Lewat Tengah Malam” menarik perhatian kritisi film.

Selain Pengantin Remadja (1972), film-film Sjuman yang juga mendapat penghargaan adalah cerita terbaik untuk Laila Majnun (1975) dalam FFI 1976 di Bandung. skenario terbaik untuk Si Doel Anak Modern (1976) dalam FFI 1977 di Jakarta, cerita asli terbaik untuk Kerikil-kerikil Tajam dalam FFI 1985. Pada FFI 1977, ia terpilih sebagai Sutradara Terbaik lewat karyanya Si Doel Anak Modern (1976). Kemudian, FFI 1984, ia kembali menjadi sutradara terbaik dalam filmnya Budak Nafsu (1983). Semua film yang disutradarainya, skenarionya ditulis sendiri.

Tuhan Mengirim Bidadari

Masalah kehidupan pribadinya yang utuh dipatrikan dalam karya filmnya Flamboyant. Sebuah film yang berkisah tentang drama keluarga dimana persaingan karir antara Aksana seorang pengarang terkemuka dan istrinya Ellen peragawati terkenal, mematahkan hidup harmonis keduanya.

Dari perkawinannya dengan penari balet Farida Oetoyo, Sjuman mendapatkan dua putra, salah satunya adalah Aksan Sjuman atau lebih dikenal dengan nama Wong Aksan yang pernah main film Kuldesak dan sekarang dengan Titi Sjuman, istrinya, menjadi penata musik film. Sjuman dan Farida bercerai pada tahun 1973. Tahun berikutnya, Sjuman menikah dengan Tuti Kirana, saat keduanya sedang membuat film Flamboyant. Mereka berpisah tahun berikutnya, setelah Tuti melahirkan seorang putri, Djenar Maesa Ayu, yang kini menjadi penulis, pemain film, dan juga sutradara film..

Di awal tahun 80-an, kondisi kesehatan Sjumandjaja mulai merosot. Pada tahun 1984, setelah hampir sepuluh tahun menduda, Sjuman secara mengejutkan tiba-tiba menyunting mantan perenang yang belakangan beralih profesi menjadi aktris, Zoraya Perucha. Waktu itu, pria yang mulai rajin mendalami agama ini mengaku telah putus asa dalam kesendiriannya. “Tetapi, Tuhan rupanya berbaik kepada umatnya. Ia mengirimkan bidadari kepada saya, “ ujarnya..

Religius Menjelang Akhir Hayatnya

Banyak orang mengatakan Sjuman sebagai sutradara film punya style tersendiri. Kombinasi ketika ia sedang bekerja, ada minuman (wisky) dan perempuan! Akibat terlalu banyak minum wisky, ia kemudian mengidap penyakit liver. Penyakit itu berhasil diobati di Wisma Tawakal, Pasar Minggu, Jakarta. Setelah sembuh dari penyakit itu, ia dinyatakan “talak” dengan kegemarannya minum minuman keras.

Kemudian, Sjuman tidak saja dikenal sebagai sineas saja, tapi menjelang akhir hayatnya ia juga dikenal mulai menjadi orang religius yang dekat dengan Allah. Hal itu dibuktikan dengan kesediaannya mengumpulkan rekan-rekannya di rumahnya di Jl. Kotabumi No. 1  untuk dijadikan tempat pengajian dengan Ustadz Dahlan ZA. Kegiatan menuntut ilmu agama itu pun sudah berlangsung sekitar tiga tahun.

Firasat Sang Flamboyan Mangkat

Seperti sebuah firasat, pada saat shooting film Kerikil-Kerikil Tajam di Hotel Hilton Jakarta, Sjuman, meski sebagai sutradara, tapi merasa perlu harus muncul dalam film itu menggandeng tangan Soraya Perucha, istrinya. Dalam adegan itu ia tampak menengok kiri kanan dan kemudian tersenyum. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke kamera dan tiba-tiba seseorang berteriak “Cut”.

Ketika mengunjungi pengajian di rumah Ike Soepomo di Jl. Pulo Raya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sjuman secara tiba-tiba jatuh pingsan. Oleh Soraya Perucha, sang istri, dan beberapa anggota pengajian, ia secepatnya dibawa di bawa ke RSCM dan langsung mendapatkan perawatan khusus di ICCU. Namun tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 13.50 WIB, 19 Juli 1985, dan disaksikan istri dan rekan-rekan dekatnya.

Sebelum mendapat serangan jantung yang sangat mendadak itu, ia belakangan diketahui memang sering mengeluh sakit. Namun rasa sakit itu tidak dihiraukan. Sehingga selama tiga hari berturut-turut ia melakukan shooting sampai larut malam tanpa istirahat. Oleh produser film yang mengontrak dia disarankan shooting film ditangguhkan dulu. Namun anjuran itu tak pernah diindahkannya dan shooting pun tetap berjalan terus. Dalam keadaan kritis, ia masih tetap semangat membuat film yang  dibintangi sang istri.

Sang flamboyan telah mangkat, dan film Kerikil-Kerikil Tajam itu menjadi film terakhir yang ditangani sepenuhnya. Ia mangkat dengan meninggalkan sebuah film berjudul Opera Jakarta yang belum rampung disutradarainya. Pada Hari Sabtu, 20 Juli 1985, ia dimakamkan di Pemakaman Umum Kawi-Kawi, Sentiong, Jakarta Pusat. Makamnya berada di samping makam kedua orangnya.

 

(dari berbagai sumber)

#KabareTegal

#DariTegalUntukIndonesia

#SutradaraLegendarisIndonesia

 

 

 

 

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000). Sedangkan, novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :