KabareTegal – Ruth Marini tampak semakin memantapkan diri berkarier dalam dunia perfilman. Setelah sukses membintangi film-film fenomenal, antara lain: Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (2018), Sebelum Iblis Menjemput (2018), Ratu Ilmu Hitam (2019), Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020), Penyalin Cahaya (2021), artis yang dinobatkan sebagai Aktris Monolog Terbaik dalam Festival Monolog se-Indonesia pada tahun 2017 ini menjadi sutradara film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’. Sebuah film produksi Kreasi Jingga yang berkisah tentang perjalanan spiritual seorang pemuda yang dibesarkan dengan sesuatu yang masuk akal, terlogika, dan nyata saja, tapi juga sesuatu yang di luar logika yang juga punya ‘kehidupannya’ sendiri, bahwa sebuah hidup yang nyata ini berdampingan dengan hidup yang tak kasat mata.
Perempuan kelahiran Lampung, 18 Agustus 1984 ini tampak begitu sangat antuasias dan semangat sekali melakoni kerjanya sebagai sutradara film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’. Baginya, sebuah karya harus lahir dari empati dan sebuah kejujuran. Jujur terhadap peristiwa, jujur terhadap karakterisasi tokoh yang ada di dalamnya, maupun jujur dalam setiap prosesnya. Mantan anggota komunitas Teater Satu Lampung dan pendiri Sanggar Aktor Cilik Indonesia ini berprinsip, film dapat mengungkap sebuah realitas paling ‘tersembunyi’, atau ‘abal’ sekalipun. Sehingga mampu menjadi ‘buku’ bagi para penontonnya.
Berikut petikan wawancara dengan Ruth Marini di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (14/12/2021) petang. Mulai dari awal dirinya memberanikan diri untuk menjadi sutradara film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’, tantangan dan harapannya terhadap film dokumenter yang sangat kental kekayaan budaya dan kearifan lokal daerah Lampung.
Apa awalnya Anda memberanikan diri untuk menjadi sutradara film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’?
Yang jelas, materi yang menarik. Ada sebuah kisah yang kemudian mengusik saya. Saya lahir dan tumbuh besar di Lampung. Ketika tinggal, saya tahu banyak cerita-cerita dan kisah- kisah yang otentik di Lampung, yang belum diketahui masyarakat luas. Sehingga ketika saya sekarang tinggal di Jakarta, yang terpenting adalah saya diberi kesempatan untuk menyutradarai film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’, maka saya langsung antusias dan senang mau untuk menyutradarainya. Karena Lampung kaya akan kisah, tradisi dan cagar budaya sehingga diberi kesempatan ini saya langsung teringat pada kisah yang tidak banyak orang tahu, yaitu kisah irau.
Irau ini sendiri adalah sebuah kisah di masa Hindu Birawa dimana perempuan dijadikan persembahan. Ada berbagai macam versi, ada yang dipersembahan kepada dewa-dewa sebagai bentuk rasa syukur dan tanda terima kasih akan hasil panen yang bagus maupun kehidupan yang tentram.
Tapi ada juga versi bahwa peristiwa persembahan itu dikehendaki oleh sang perempuan. Karena persembahan itu harus oleh perempuan yang masih perawan. Karena di Lampung sangat menjunjung tinggi seorang perempuan bahwa perempuan itu seperti ibu dari bumi, bahwa perempuan itu sebagai sumber kemakmuran, sumber kesehatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu saya antusias sekali dan semangat sekali membuat film dokumenter kisah irau ini.
Tapi sewaktu masih kecil, apakah Anda memang pernah mendengar kisah irau ini?
Sewaktu kecil saya memang pernah mendengar kisah irau ini, bahwa dulu hanya menjadi kisah yang menyeramkan saja, tapi sekarang setelah dilakukan penelitian atau riset, irau tidak hanya menjadi sebuah kisah yang menyeramkan saja, tapi ada nilai yang kuat, ada sebuah keyakinan yang teguh dari masyarakat Lampung, ada sebuah kepercayaan yang menurut saya itu bentuk dari mereka percaya pada sesuatu yang dapat memberikan kebaikan, dan lagi-lagi berpusat pada perempuan.
Kelihatannya perempuan yang dikorbankan, tapi itu yang secara kasat mata, karena secara filosofinya hanya perempuan yang paling terhormat sehingga perempuan-lah yang harus dipersembahkan. Dan itu menuruit saya, bukan hanya kisah menyeramkan seperti saat saya masih kecil saja, tapi lebih dari itu.
Sejauh ini produksi film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’ sudah sampai proses mana?
Kita sudah sampai proses riset, dimana kita tahu tempat-tempat ritualnya, makam-makamnya, lalu kita tahu apa dan bagaimana kisah yang sebenarnya terjadi disana dari berbagai macam versi. Kita sudah ke kampung-kampung, masuk ke tempat-tempat dimana disana ada nara sumber- nara sumber terpercaya untuk mengisahkan kembali kisah itu,
Apa tantangannya dalam membuat film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’?
Tantangan bikin ini adalah pertama, akses, karena lokasinya tidak dekat, jalok loaksi, dari situs satu ke situs lainnya, atau dari lokasi satu ke lokasi lainnya memang tidak dekat, tidak mudah dijangkau, misalnya turun dari mobil langsung sampai, kita harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, bahkan ada lokasi yang harus dijangkau dengan harus naik ke atas gunung, tinggi sekali, gunung yang dimana kanan-kiri hutan, jadi kita seperti masuk hutan belantara barulah bisa sampai ke lokasi makamnya.
Lalu, kedua, bagaimana dari berbagai versi ini, kita mampu menghadirkan sebuah film dokumenter yang trusting, yang terpercaya, walaupun berbeda versi, versi a, b, c, semuanya sama kuatnya karena didukung oleh situs-situs peninggalannya, bukti-bukti sejarahnya. Kalau perbedaannya hanya pada latar belakang persembahan, jadi bukan prosesi persembahannya. Ada benang merah yang menyatukan itu semua, tetap saja untuk kebaikan umat manusia, yang pada intinya tentu persembahan untuk kebaikan.
Dalam memproduksi film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’, apakah Anda tidak melibatkan Teater Satu Lampung, misalnya, yang dulu menjadi awal Anda dalam proses berkesenian?
Saya tidak melibatkan Teater Satu Lampung karena disini saya melihatkan sineas-sineas muda. Teman-teman dari Ruang Kala, disini saya juga bekerjasama dengan Kreasi Jingga. Sebuah komunitas dari Ruang Kala. Komunitas seni, disitu ada seni sastra, seni pertunjukan, dan seni film. Nah! Divisi film inilah yang kemudian membuat film ini, jadi komunitas Ruang Kala ini yang bergerak untuk membuat film dokumenter ini.
Apa harapan Anda dengan memproduksi film dokumenter ‘Tiyuh Suluk’?
Harapan saya tentu saja, kita menjadi punya buku baru, kita punya bacaan baru, kita punya tontonan baru, kita punya pengetahuan baru, bahwa di sebuah tempat nun jauh di sana, di salah satu bagian pelosoknya, ada sebuah kisah yang luar biasa, ada sebuah nilai yang luar bisa, yang sangat perlu kita tahu atau penting kita ketahui. Sekarang ini pengetahuan kita terhadap sejarah, ilmu pengetahuan, dokumenter maksudnya proses–proses atau peristiwa sejarah itu sangat minim, sama seperti halnya, kebiasaan kita datang ke museum tidak seantusias ketika kita datang ke mall, sehingga perlu dibuat dokumenter inilah karena untuk memperkaya lagi, kita bangsa Indonesia kuat karena salah satunya adalah karena tradisinya, kita beragam suku, beragam budaya, beragam tradisi, beragam masyarakat etnik, budaya dan segala macamnya. itulah yang membuat kita kuat. Jadi perlu adanya film dokumenter-dokumenter yang lain sebagai basis tembok-tembok kita untuk membangun dan memperkuat bangsa. Maksudnya itulah pondasi-pondasinya. Itulah Indonesia.