KabareTegal – Penyair Hendro Siswanggono, yang juga seorang dokter, meluncurkan buku kumpulan sajak bertajuk ‘Sendiri Menemui-Mu’ pada awal tahun 2022. Buku terbitan Balai Pustaka yang berisi 143 sajak-sajak pendek karya Hendro Siswanggono ini siap menemui pembacanya.
“Saya baru saja menerbitkan buku kumpulan sajak ‘Sendiri Menemui-Mu’, “ kata Hendro Siswanggono, lewat pesan singkat WhatsApp, beberapa waktu yang lalu.
Lebih lanjut, Hendro Siswanggono menerangkan bahwa bukunya dijadwalkan akan dibagikan pada pertemuan Minggu Legian. “Sudah dijadwalkan oleh Pak Nurinwa pada pertemuan Minggu Legian, “ Hendro Siswanggono menegaskan.
Kemudian, pada hari yang tentukan tiba, tepatnya, hari Minggu, 30 Januari 2022, diadakan pertemuan Minggu Legian, sebuah pertemuan yang digelar pada hari Minggu dengan weton (pasaran) Legi. Tempatnya di Warung Tekko Grand Kota Bintang di Komplek Grand Kota Bintang Unit W6, Jl. KH. Noer Ali, Jakasampurna, Bekasi, Jawa Barat.
Pada pertemuan Minggu Legian itu hadir, di antaranya, Nurinwa Ki S. Hendrowinoto bersama anak-istri, Sutardji Calzoum Bachri bersama istri, Abdul Hadi WM bersama istri, Dodo Karendeng, Rubiyanto, Mirza Ahmad, Akhmad Sekhu, Alen Musyalen bersama dengan seorang temannya.
Sastra Melayu Tionghoa
Selama pertemuan berlangsung pembicaraan tentang perkembangan sastra di Indonesia maupun di dunia. Untuk perkembangan sastra di Indonesia, Nurinwa selalu menyebut dimulai dari Sastra Melayu Tionghoa yang merupakan karya penulis peranakan Tionghoa yang berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
“Menurut Claudine Salmon, seorang sarjana Perancis yang meneliti sastra Melayu Tionghoa, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1966) kesusastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dan sudah menghasilkan 3.005 karya, “ ungkap Nurinwa.
Meskipun berkembang di Indonesia, lanjut Nurinwa, keberadaan sastra Melayu Tionghoa seringkali tidak diakui sebagai bagian dari sastra Indonesia. “Hal ini disebabkan karena pada saat itu orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia belum dianggap sebagai orang Indonesia, “ bebernya.
Menurut Nurinwa, selain itu, bahasa Melayu Rendah yang digunakan dalam karya-karya sastra Melayu Tionghoa dianggap bukan merupakan sumber bahasa Indonesia. “Karya-karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Rendah pada saat itu dikatakan sebagai karya sastra yang bermutu rendah, dan hanya karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi, yang saat itu dianggap sebagai sumber bahasa Indonesia, yang diakui sebagai sastra Indonesia, “ papar Nurinwa panjang lebar.
Nurinwa menyampaikan, bahwa yang menjadi alasan mengapa sastra Indonesia modern dianggap baru dimulai pada periode Balai Pustaka yang karya-karyanya menggunakan bahasa Melayu Tinggi. “Sebenarnya, orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia telah berbaur dengan penduduk setempat dan menempatkan diri sebagai orang Indonesia, “ tegas Nuwinwa.
Nurinwa menyebut karya-karya penulis peranakan Tionghoa yang banyak menceritakan tentang kehidupan orang Tionghoa di tengah-tengah penduduk setempat. “Bahasa pemersatu yang memegang peranan penting dalam pembauran orang Tionghoa dengan penduduk setempat adalah bahasa Melayu Rendah, “ ujar Nurinwa.
Penggunaan bahasa Melayu Rendah ini, kata Nurinwa, dalam masyarakat lebih luas dibandingkan penggunaan bahasa Melayu Tinggi yang terbatas untuk orang-orang berpangkat atau bangsawan.Kemudian seiring dengan perkembangan masyarakat, bahasa Melayu Rendah menjadi semakin teratur dan menjadi bahasa pengantar dalam surat kabar dan karya sastra, sehingga penggunaannya sebagai lingua franca semakin luas. “Karena
penggunaannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia semakin luas, bahasa Melayu Rendah juga ikut mempengaruhi lahirnya bahasa Indonesia, “ tandas Nurinwa.
Nobel Sastra
Pembicaraan yang tak kalah serunya terkait dengan Nobel Sastra, yang akhir-akhir ini begitu hangat dibicarakan kalangan sastrawan. Dalam hal ini, Nurinwa punya pandangan sendiri tentang sastra Indonesia yang bisa dibaca dunia. Temanya ada dua, yaitu satu, siapa yang berani mengungkap tentang Soekarno ketika di Wismayaso. “Dia merenung sebagai presiden tapi tidak diperlakukan dengan baik, “ ungkapnya prihatin.
Nurinwa menyampaikan, bahwa tak selayaknya seorang proklamator bangsa, akhir hidupnya dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. “Di rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas. Bahkan, pembicaraan dan tingkah laku setiap orang yang menjenguk diawasi penjaga dengan ketat, “ imbuh Nurinwa menegaskan.
Kedua, bagaimana kita menjadi Indonesia. “Kita menjadi perahu Naga terakhir China-China yang datang ke Indonesia, sebuah renungan yang sangat mendalam tentang hakekat kebangsaan kita sebagai Indonesia, “ papar Nurinwa filosofis.
***
Mengenai Buku Kumpulan Sajak ‘Sendiri Menemui-Mu’ karya Hendro Siswanggono yang baru saja terbit. Istimewanya, buku ini mendapat dukungan dari nama-nama besar di dunia sastra Indonesia. Terutama dari Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, yang menulis prolog.
Kemudian, epilog-nya ditulis oleh Abdul Hadi W M, penyair, esais, dan kritikus seni yang kini sebagai Guru Besar di Universitas Paramadina.
Adapun yang menjadi editor adalah Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, seorang doktor ilmu sosial yang banyak menulis biografi tokoh-tokoh besar Indonesia dan sebagai Ketua Yayasan Biografi Indonesia.
Patut diperhitungkan juga, Atiek Koentjoro, lulusan Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) yang memberi sentuhan artistik buku ini dengan ilustrasi-ilustrasi yang apik.
Hendro Siswanggono sebenarnya bukan nama baru dalam dunia sastra Indonesia. Namanya sudah dikenal pada tahun 70-an. Hal tersebut disampaikan Abdul Hadi W M dalam epilog-nya, yang sudah mengenal Hendro pada awal 70-an. Melalui Sapardi Djoko Damono kala itu, ia tahu bahwa Hendro adalah penyair yang berbakat, tunas baru yang memberikan banyak harapan. Sajak-sajaknya disiarkan, antara lain, di majalah Basis, Horison, dan Budaya Jaya.
Apresiasi tinggi juga disampaikan Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, bahwa sajak-sajak Hendro Siswanggono dalam buku ini, meski ditulis dengan gaya bahasa sederhana, tapi telah memberikan pertambahan makna pada penghayatan relijiusnya sebagai pembaca.
Adapun, Nurinwa sebagai editor menyoroti bahwa dari semua puisi penyair Hendro Siswanggono yang ada, tidak sebuah pun yang bersuara epik, mengajak manusia untuk berperang membunuh atas nama dan untuk Tuhan seperti puisi Homer pujangga Yunani abad ke-8 SM. Juga tidak menyembunyikan Tuhan lewat musim serta alam seperti puisi Li Bai penyair yang disebut Dewa Penyair Tiongkok Kuno pada zaman Dinasti Tang 701-761. Tanda disadari penyair Hendro Siswanggono dengan akar budaya priyayi pinggir Jawa menghayati “Tuhan Jawa” yang tidak pernah mengancam masuk neraka apabila tidak disembah dan akan dihadiahkan surga apabila aktif menyembah.