Sastri Bakry Berharap Pemerintah Mengapresiasi Karya ­Karya Penulis

Dunia kepenulisan di Indonesia masih memprihatinkan. Royalty penulis hanya 10 persen. Tidak ada penerbit yang mau menerbitkan buku puisi. Karena itu penulis menerbitkan sendiri. Orang maunya dikasih buku, tidak mau membeli buku. Hal ini diakui Sastri Bakry, penulis dan juga bekerja di Kementrian Dalam Negeri.

 

Sastri Bakry sudah meerbitkan puluhan buku, cerpen (3 antologi cerpen), puisi (belasan termasuk antologi), novel (4 novel), karya ilmiah (2 buah), artikel dan naskah drama. Bukunya yang terbaru, naskah drama WE’E si Pono, Kisah Perjuangan Syekh Burhanuddin akan segera soft launching.

“Saya sering merenung dan mengingat­ingat cerita papa saya Zaidin Bakry (kolouel, sastrawan dan budayawan) tentang Syekh Burhanuddin yang makamnya didatangi sampai ratusan ribu orang dibulan Safar. Saya bayangkan jika dibuat pertunjukan tradisi Randai (cerita dengan unsur tari, musik, teater, dendang, dll) ini akàn menarik (sudah dipentaskan tgl 7 Maret di Gedung PPHUI Jakarta). Sebelum pementasan itu seorang anggota DPDRI  memotivasi saya untuk menerbitkannya menjadi buku yang akàn jadi rujukan orang, “ kata Sastri Bakry kepada wartawan, Kamis (22/10/2020).

 

Perempuan kelahiran Pariaman, 20 Juni 1958, itu lebih lanjut menerangkan, karena ini buku sejarah ulama yang disajikan berbentuk naskah drama maka saya melakukan lebih intensif kajian literatur dari buku­ buku, youtube, wawancara dengan pakar sejarah, ulama, budayawan, seniman, hingga ketemu khalifah ke 15 Syekh Burhanuddin. “Disamping itu saya juga mendatangi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman. Agar bisa dapat feel and soul­nya, “ terang ibu anak 4 dan cucu 8.

 

Sastri mengaku menggeluti dunia kepenulisan sejak SMP. “Rasanya bahagia banget tulisan saya yang ecek­ ecek itu keluar di koran Haluan Padang, “ ujar penulis banyak penghargaan, beberapa contoh dari Presiden SBY dan Jokowi, Anugrah Sastra Srikandi dari Numera, Malaysia, Srikandi Tun Fatimah dari Ketua Menteri Melaka, yang disematkan PM Malaysia, dari Dubes Spanyol, Croatia, Singapura atas misi Kebudayaan dll.

 

Saat ditanya, sudah berapa buku yang ditulis dan diterbitkan? Dengan tenang, Sastri memberikan jawaban, “Sudah puluhan, cerpen (3 antologi cerpen), puisi (belasan termasuk antologi), novel (4 novel), karya ilmiah (2 buah), artikel dan naskah drama ini baru pertama kali.”

 

Sastri Bakry mengaku setiap ada waktu luang ia selalu menulis, apalagi gadget ada jadi kapanpun bisa. “Saya beruntung sekarang bisa menjadi Widyaiswara Ahli Utama dengan keputusan presiden yang tugasnya antara lain mengajar, mendidik, melatih dan menulis karya tulis ilmiah dan bimbingan. Jadi sesuai sekali dengan passion saya dibanding jabatan lain sebelumnya (pernah Direktur Perencanaan Anggaran, Kapuslitbang, kepala Bawasda, Inspektur Investigasi dll), “ paparnya.

 

Menurut Sastri Bakry, orang yang mendorong dan memotivasi Bu Sastri Bakry menggeluti dunia kepenulisan adalah  Papa Zaidin Bakry yang juga penulis, seniman, budayawan, kolonel TNI dan politisi. “Kakak­kakak saya juga penulis, “ ungkapnya bangga.

 

Sastri Bakry menyampaikan suka duka dalam menggeluti dunia kepenulisan. Ada enak dan enaknya. “Enaknya kita bisa mengungkapkan perasaan dan pikiran kita (kan menulis obat awet muda). Nggak enaknya royalty penulis hanya 10 persen. (novelnya pernah diterbitkan Republika, Grasindo dan Zikrul Hakim). Ketika buku puisi, ndak ada penerbit yang mau menerbitkan. Karena itu saya terbitkan sendiri. Orang maunya dikasih buku, tidak mau membeli buku. Alhamdulillah buku saya dibeli duta­duta besar ketika saya membawa grup konser keluar negeri. Itu yang bisa membuat balik modal. Ada lagi pengalaman bahagia ketika puisi saya dihargai satu puisi 5 juta. (2 kali dan satu kali 2.5 juta) maunya sering­ sering begitu ya, “ harapnya.

 

Pengalaman Sastri Bakry yang paling berkesan selama menggeluti dunia kepenulisan, ketika buku novelnya berjudul Hatinya Tertinggal di Gaza (Kisah percintaan) dibahas di Malaysia (Institute Tamaddun Melayu) oleh para profesor yang bahasannya sangat mengagetkan masing­ masing ada yang membahas dalam perspektif agama, ekonomi, Politik, hukum dan budaya. “Kisah cintanya hanya sedikit, tapi luar biasa. “Saya jadi merenung ternyata buku yang kita tulis bisa luas tafsirannya lebih luas dari yang dimaksud penulis, “ tuturnya.

Sastri Bakry berharap pemerintah mengapresiasi karya­ karya penulis. Memfasilitasi mereka terutama yang karyanya bagus tapi tak punya modal untuk mencetaknya. “Saya pikir nggak berat jika pemerintah fokus melaksanakan tugas pembinaan, fasilitasi, dedikasi dan regulasi sesuai bidang masing­masing. Saya jugaa berharap para pencinta buku( dosen, mahasiswa, seniman, sastrawan, birokrat dll) mau membeli buku tidak hanya di toko buku, tapi dari penulisnya langsung. Penulis indie yang rata rata hidup dari kepenulissan hidupnya susah,” tegasnya.

 

Adapun, pandangan Sastri Bakry mengenai dunia kepenulisan di Indonesia sangat hebat. Banyak karya lahir. Bahkan diakui di dunia intrrnasional. “Banyak media yang bisa digunakan untuk mengekspresikan diri dan pikirannya. Teknologi sudah canggih. Namun masyarakat tetap harus diedukasi tentang buku yang sesungguhnya,” pungkasnya sumringah.

 

About AKHMAD SEKHU

Akhmad Sekhu, wartawan dan juga sastrawan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000). Sedangkan, novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

View all posts by AKHMAD SEKHU →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :