Merebaknya Corona Virus Desaese (Covid-19) mencuatkan profesi dokter sebagai garda terdepan yang bertugas dalam penanggulangannya. Sebuah kenyataan yang menyentak kesadaran kita, banyak dokter “bertumbangan” terkena virus yang sangat mematikan tersebut. bahkan beberapa dokter di antaranya tewas dalam tugas.
Berdasarkan data resmi dari IDI, per Senin (6/4/2020), 25 dokter di Indonesia meninggal terkait dengan COVID-19. Sembilan belas di antaranya merupakan dokter umum dan spesialis.
Terbitnya buku ‘Idrus A Paturusi: Dokter di Medan Lara’ ini sangat tepat moment-nya, mengingat sangat beresikonya profesi seorang dokter dalam menjalankan tugas kemanusiaan. Pertaruhannya bukan jiwa-raga semata-mata, bahkan bertarung nyawa. Apalagi Prof Idrus termasuk salah seorang pejuang kemanusiaan yang positif terinfeksi Covid-19, tapi sekarang sudah dinyatakan sembuh dan sudah keluar dari rumah sakit.
Sosok bernama lengkapnya Prof. Dr. dr. Idrus Andi Paturusi, Sp.BO. yang akrab disapa Prof Idrus itu adalah seorang dokter spesialis bedah tulang dan praktisi pendidikan. Dia satu-satunya dokter bedah tulang di tanah air yang pernah jadi dekan, rektor, komisaris utama, ketua Majelis Rektor PTN se-Indonesia, hingga Presiden Asosiasi Perguruan Tinggi se-Asia Tenggara (ASAIHL). Bila disambung-sambung, daftarnya cukup panjang.
Prof. Idrus sebenarnya dari dulu sudah mengabdi di bidang kemanusiaan, baik dalam negeri, mulai dari bencana di Meulaboh, Banda Aceh, Pidie Jaya, Nias, Padang, Bengkulu, Yogyakarta, Palu, Lombok, Flores, Ternate, Maluku, hingga ke Asmat. Sampai berbagai bencana di luar negeri, yakni di Bam, Iran dan Tohoku, Jepang. Bahkan hingga bencana di Pakistan dan Afghanistan dihampirinya tanpa rasa takut, sekalipun nyawa taruhannya.
***
Buku ini terbagi dalam 31 bagian, bagian pertama, Tertimpa Tiang Listrik & Dihajar Kayu Bangko, yang membahas lahirnya Prof Idrus, silsilah keluarganya yang berasal dari kalaangan bangsawan, hingga dalam meraih pendidikan. Di bagian ini, kita dapat menyimak peristiwa Prof Idrus di masa kecilnya tertimpa tiang listrik yang jadi pengalaman pertama Idrus berada sangat dekat dengan kematian. Tak disangka bahwa di masa-masa berikutnya, Idrus selalu di “medan lara” yang begitu dekat dengan kematian.
Selanjutnya, bagian kedua, ‘Jenderal Pelonco’, yang membahas Idrus masuk kuliah di Fakultas Kedokteran Unhas, masuk menjalani masa pelonco, tapi ia menjadi peserta pelonco paling berani menghadapi seniornya. Pada sesi terakhir masa perpeloncoan, Idrus diberi kehormatan membawa bendera fakultas sebagai Jenderal Pelonco.
Masa perpeloncoan adalah kenangan yang tak pernah dilupakan oleh Idrus. “Kalau dibandingkan dengan pelonco-pelonco sekarang ini yang hanya berlangsung 2 hari, hampir tidak ada apa-apanya. Peserta pelonco sekarang ini, baru dicubit sedikit saja sudah langsung melaporke orang tuanya bahwa dia habis disiksa.” (hal 23)
Bagian Ketiga, Tiga Sekawan, kisah Idrus kuliah di Fakultas Kedokteran Unhas, dimana dari semua kawan dekatnya tersebut, Idrus bersahabat sangat akrab dengan Farid Husain dan Saman Kalla, yang merupakan adik kandung Jusuf Kalla. Kedekatan ketiga mahasiswa ini sangat kuat di mata kawan-kawan yang lain, sehingga mereka mereka dijuluki dengan sebutan ‘Tiga Sekawan’.
Pada bagian-bagian berikutnya, kita dapat menyimak tugas-tugas kemanusiaan yang dilakukan Prof Idrus, seperti di antaranya, bagian tujuh, Semangat Baru di Ende (hal 51), bencana tsunami di Ende, 12 Desember 1992, dimana lebih dari 2000 orang menjadi korban tewas dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Prof Idrus membentuk tim medis penanggulangan bencana di bawah bendera Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur (BSBIT), dengan melibatkan dokter-dokter dari UNHAS.
Bagian delapan, Menularkan Semangat Kemanusiaan (hal 61), pada tahun 1994, Idrus resmi diangkat menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Kedokteran UNHAS. Jabatan ini membidangi urusan kemahasiswaan, sebuah bidang yang tepat ditangani oleh Idrus sebagai mantan aktivis mahasiswa UNHAS. Bidang kemahasiswaan tentu saja bukan bidang yang sepele. Selalu banyak masalah yang muncul saat berhadapan dengan mahasiswa yang memiliki berbagai keinginan dan tuntutan.
Idrus menularkan semangat kemanusiaan pada mahasiswa, di antaranya, dengan membentuk Tim Medis Terpadu saat melakukan pelayanan medis di Lokasi Banjir di Makassar tahun 1998. Kemudian, membentuk Tim Medis Terpadu saat bertugas membantu korban Banjir di Wajo tahun 1998.
Bagian sembilan, Jadi Kurir Di Toli-Toli (hal 65), menunjukkan Idrus tak hanya berperan jadi tim medis, tapi juga pernah menjadi kurir, dengan mengirimkan bantuan obat-obatan yang sangat banyak kepada korban bencana Tolitoli, saat terjadi gempa tektonik berkekuatan 7 skala Richter, di Tolitoli Sulawesi Tengah, awal tahun baru 1996.
Bagian-bagian berikutnya, dari judulnya, kita dapat menyimak misi kemanusiaan yang diembang Prof Idrus, seperti di antaranya, ‘Uji Nyali’ di Ambon (hal 69), Sebulan Bersama Pengungsi Timor-Timur (85), ‘Sport Jantung’ di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan (109), Gelombang Eksodus TKI di Nunukan (127), Meresapi Duka Nestapa Rakyat Aceh (151), Selamat Dari Kecelakaan Helikopter di Nias (177), Simulasi Penanggulangan Bencana di Ancol (185), Merapikan Jenazah Korban Gempa Padang (hal 219), Hari-Hari Penuh Gempa Di Lombok (279), Bencana ‘Trisula’ Di Palu (297)
***
Membaca buku ini, kita dapat menyimak sepak terjang Prof Idrus, sang pejuang kemanusiaan di “Medan Lara” dengan tugas-tugas penuh resiko tinggi yang diembannya. Penulis bukunya dua orang, yakni Sili Suli dan Hurri Hasan, yang tampaknya saling melengkapi dari kemampuan dua penulis masing-masing. Kita tentu patut memberi apresiasi atas literasi biografi Prof Idrus ini.
Sayangnya, di bagian akhir ada testimoni media yang menyertakan kliping beritanya, yang semestinya tidak harus disertakan. Karena kliping berita tersebut, harus sudah benar-benar “lebur” dalam materi tulisan buku biografi Prof Idrus ini. Kalau pun harus disertakan berupa rangkuman atau semacam mozaik kliping dengan memperlihatkan judul-judul berita yang tentu cukup dalam satu halaman saja.
Kata-kata bijak dalam buku ini, seperti pil-pil pahit yang memang harus kita telan untuk menyembuhkan penyakit. Di antaranya, “sabar itu pahit, jujur itu pahit, dan ikhlas itu sangat pahit, namun semua yang pahit menyembuhkan segala macam penyakit.“ Semakin menegaskan kalau Prof Idrus, sang pejuang kemanusiaan bertugas di “Medan Lara”.
Judul Buku : Idrus A Paturusi: Dokter di Medan Lara
Penulis : Sili Suli & Hurri Hasan
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Cetakan : Maret 2020
Tebal : xvi + 354 halaman
ISBN : 978-602-5963-77-3