Mendengar kata “Dedengkot Betawi”, asosiasi kita tentu langsung tertuju pada sosok seorang tokoh yang sangat disegani dari suku Betawi. Suku asli yang menghuni Jakarta. Sebuah kota yang telah berkembang sedemikian pesatnya menjadi kota megapolitan, bahkan termasuk menjadi salah satu kota besar di dunia. Jakarta menjadi tempat berkumpulnya orang–orang dari penjuru Indonesia, dan bahkan dari berbagai penjuru dunia.
Sosok tokoh yang disebut sebagai Dedengkot Betawi itu adalah Haji Nuri Thaher. Ketua Majelis Adat Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Dalam menjalankan amanah sebagai Ketua Majelis Adat Bamus Betawi, ia menunjukkan jiwa kepemimpinan yang tinggi dan tulusnya niat yang bisa dirasakan oleh semua.
Harapan tinggi memang diletakkan di pundak Babe Nuri, sapaan akrab Haji Nuri Thaher.bahwa Majelis Adat Bamus Betawi dituntut dapat meningkatkan kebermanfaatan kepada kota dan masyarakatnya, dan meninggalkan jejak perubahan yang dikenang untuk waktu yang lama. Bahwa Majelis Adat Bamus Betawi akan membawa kebudayaan Betawi semakin bergema, dengan tidak hanya melestarikannya, namun juga memajukannya.
***
Buku ini terbagi dalam delapan bagian, dimana bagian pertama, Masa Kecil dan Remaja, yang membahas mengenai masa kecil dan remaja Babe Nuri. Dalam bagian ini, terkuak jatidiri Babe Nuri yang memang asli Betawi karena lahir di Betawi dengan silsilah sampai lima generasi Betawi. Sedangkan generasi di atasnya lagi dari Aceh. Kakek buyutnya berasal dari Aceh yang datang ke Jakarta untuk berperang melawan Portugis. Adapun, nenek buyutnya dari Demak, Jawa Tengah.
Bagian Kedua, Si Nuri Anak Sekolahan, membahas masa-sama sekolah Babe Nuri. Mulai dari sekolah SD di Polonia, kemudian Sekolah Teknik Pertama (STP) Budi Utomo yang ditempuhnya selama empat tahun dan berubah namanya jadi Sekolah Teknik (ST). Setela itu, Sekolah Penerbangan di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi calon Prajurit TNI AU. Tapi karena Engkongnya kurang berkenan sehingga ia tidak melanjutkan berkarir sebagai prajurit di TNI AU jadi ia bersekolah di SMA Taman Siswa.
Selepas SMA, ia mengambil berbagai kursus untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Mulai dari kursus teknik hingga pembukuan yang kemudian teerbukti berguna untuk membangun usaha. (hal 35)
Bagian Ketiga, Menikah Muda, membahas Babe Nuri yang menikah di usia muda dengan menikahi Nana Ratnasih pada 31 Maret 1959. Nana adalah cucu kedelapan dari Bupati pada zaman Belanda Raden Cintaka Suryawinata dan Presiden Pertama Negara Pasundan yang bernama Surja Natalegawa. Makam Surja Natalegawa di Kompleks Masjid Agung Garut.
Seperti diketahui, Konferensi Jabar III dilaksanakan, 23 Februari – 5 Maret 1948 di Bandung. Konferensi ini bertujuan untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam beberapa konferensi sebelumnya, yaitu mengenai berdirinya Negara Pasundan. (hal 41)
Dalam bagian ini, Babe Nuri mengakui dirinya berpoligami meniru engkongnya yang bernama Djazri yang menjadi lurah pada zaman penjajahan Belanda. Baginya, poligami merupakan Sunah Nabi, jelas ayatnya dalam Alquran, serta jelas pula tafsir dan asbabul wurud-nya. Sayangnya, dalam buku ini tidak dibahas istri-istri Babe Nuri yang kedua, ketiga dan keempatnya. Juga suka-dukanya Babe Nuri berpoligami yang sebenarnya bisa menjadi point plusnya buku ini.
Bagian Keempat, Membangun Bisnis, membahas bisnis Babe Nuri yang memulai usaha dari bawah, yang berkembang dan mengerucut pada tiga pilar bisnis, yaitu pom bensin, rumah sakit dan hotel. Ia memanfaatkan momentum pesta olahrga Asean (Asean Games) pada 1962 di Jakarta dengan mendirikan usaha bersama teman-teman guna menyambut kegiatan tersebut yang membutuhkan pembangunan sejumlah fasilitas olahraga dan berbagai gedung. Dalam bagian ini, Babe Nuri menjelaskan pertemanannya dengan Taufiq Kiemas, Ginanjar Kartasasmita, yang berpengaruh dalam usaha bisnisnya.
Bagian Kelima, Pengabdian kepada Masyarakat, membahas berbagai kiprah Babe Nuri, mulai dari menjadi Pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jakarta Timur, Pengurus Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), hingga menjadi Ketua Majelis Adat Bamus Betawi yang menjadi ormas etnis kebanggaannya. Juga kiprahnya, turut mendirikan Forum Ulama dan Habaib (Fuhab) Betawi dan kemudian berkembang menjadi Forum Ulama dan Habaib (Fuhab) Jakarta.
Sayangnya, bagian ini terlalu bertele-tele membahas biodata orang per orang yang begitu banyaknya personal duduk dalam kepengurusan Bamus Betawi, yang sebenarnya tidak perlu ada. Semestinya mereka satu per satu menyampaikan pendapat dan pandangan Babe Nuri, kalau perlu adanya dialog interaktif dan saling memberi wacana menggenai peradaban Betawi dalam perkembangan dan masukan serta harapan ke depan, yang kalau dilakukan tentu akan bisa semakin memperkaya dan memberi bobot buku ini.
Bagian Keenam, Menikmati Hari Tua, membahas Babe Nuri dalam menikmati hari tua lebih banyak beribadah. Ia lebih senang berada di rumah ketimbang bepergian. Ia memiliki kamar yang di bawahnya mengalir kolam ikan koi sehingga membuatnya memiliki ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa.
Bagian Ketujuh, Dari Gubernur ke Gubernur, membahas pergaulan Babe Nuri dengan gubernur—gubernur Jakarta, yang sering datang ke rumahnya, baik sebelum menjabat maupun sesudah menjabat gubernur. Mulai dari dari Tjokropranolo, R Soeprapto, Soerjadi Sooedirja, Sutiyoso, Fauzie Bowo, Ahok, hingga Anies Baswedan. Bahkan ia menyiapkan kader Betawi jadi gubernur.
Bagian Kedelapan, Penghargaan, membahas berbagai penghargaan yang didapatkan Babe Nuri, baik itu penghargaan dari Betawi sendiri maupun dari daerah lain, seperti di antaranya penghargaan dari Serumpun Melayu Nusantara yang sangat disyukurinya.
***
Membaca buku ini, kita mendapatkan Babe Nuri sosok tokoh yang konsekuen menegakkan peradaban Betawi yang tentu tidak bertentangan dengan Islam. Hal itu merupakan isyarat dari orang tua yang mewariskan nilai-nilai Islami bagi masyarakat Betawi, seperti di antaranya dalam perkawinan, upaya mempertahhankan adat masih sangat kuat, dan hal itu sesuai dengan syariat Islam.
Data Buku:
Judul Buku : Dedengkot Betawi; Haji Nuri Thaher, Saudagar Dermawan & Religius
Penulis : Lahyanto Nadie
Penerbit : Penerbit Pustaka Kaji, Jakarta
Cetakan : September 2020
Tebal : 332 halaman
ISBN : 978-602-5735-776
*Akhmad Sekhu, pengamat buku
Ulasan yang bagus. Terima kasih Bang Akhmad Sekhu.
salam,
Lahyanto Nadie